Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari
bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya
yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan
ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah
dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Menolong anak yatim merupakan hal
yang mulia. Selain ada di panti-panti asuhan, ada pula anak-anak yatim yang
tinggal di rumah-rumah biasa bersama ibunya. Nah anak-anak yatim seperti itulah
yang harus benar-benar kita perhatikan karena belum tentu ada yang menolong
mereka.
Allah sendiri berfirman yang
artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
ANAK yatim adalah anak yang
ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig. Dalam Islam,
anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari
Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar
jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis
yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau
menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat
tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam
yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan
umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat
Islam dan bahkan selain umat Islam.
Di Indonesia, khususnya di
desa-desa, sampai sekarang kebiasaan memberi uang ala kadarnya pada tanggal 10
Muharam kepada anak yatim masih berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam,
anak-anak yatim bergerombol-gerombol mendatangi rumah-rumah orang kaya atau
para dermawan. Di situ mereka memperoleh pembagian uang. Kebiasaan demikian
sungguh amat terpuji, tetapi apakah para anak yatim hanya butuh bantuan sekali
itu?
Tentunya tidak. Mereka membutuhkan
bimbingan sampai dirinya mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Betapa
mulianya orang yang mau berbuat demikian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
“Saya yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan
ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan
Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Allah sendiri berfirman yang
artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
Anak yang ditinggal mati oleh ibunya
ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti
kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam
Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu.
Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara
lalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan
harta anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).
Ismail bin Abdurrahman berkata,
“Pemakan harta anak yatim dengan lalim itu besok di hari kiamat akan
dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api yang menyala-nyala dari mulutnya,
telinganya dan matanya sehingga semua orang mengenalnya bahwa ia sebagai
pemakan harta anak yatim.”
Para ulama berkata, bagi setiap wali
anak yatim bilamana ia dalam keadaan fakir diperbolehkan baginya memakan
sebagian anak yatim dengan cara ma’ruf (baik) menurut sekadar kebutuhannya saja
demi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak boleh berlebih-lebihan dan
jika berlebih-lebihan akan menjadi haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan
“bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu, pertama, mengambil harta anak yatim dengan
jalan kiradl. Kedua, memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja. Ketiga,
mengambil harta anak yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja
untuk kepentingan mengurus harta anak yatim itu, dan keempat, memakan harta
anak yatim tatkala dalam keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus
mengembalikan dan jika ia benar-benar tidak mampu hal tersebut dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang
merugikan harta anak yatim, Allah juga akan mengangkat derajat orang-orang yang
suka menyantuni anak yatim; sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang
menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim dari orang Islam, sampai
Allah SWT mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia
melakukan dosa yang tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi).
Dari hadis ini, memberikan jaminan
bagi orang-orang yang mau mengasuh anak yatim akan memperoleh imbalan pahala
dari Allah SWT, berupa surga yang disejajarkan dengan surga Nabi saw., kecuali
ia melakukan dosa-dosa yang tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah
kewajiban kita sebagai umat Islam dalam menyantuni anak yatim.***
*Dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment