Mengeluh atau merasa galau, bukan
khas a-b-g atau manusia-manusia pra dewasa. Bahkan para tokoh agung sekalipun
pernah mengalami kegetiran keras, dan memaksa mereka untuk mengeluh. Sekelas
para nabi sekalipun, pernah mengeluh. Misalnya Nabi Yakub, yang meratapi
kehilangan anaknya yang bernama Yusuf (bahkan dikisahkan, Yakub menangis sampai
matanya memutih). Kisah serupa juga terjadi pada Nabi Yunus, Nabi Musa, dan
Nabi Sulaiman.
Bedanya, mereka mengeluh dalam pasrah —dan meminta
pertolongan Tuhan. Tatkala mengeluh, mereka tak membuang martabat dan harga
diri. Sebab tidak mengeluh pada sesama manusia.
Adapun kebanyakan kita, mengeluh dengan tingkah yang
berlebihan. Kita —saat mengeluh— tak lagi memandang situasi dan tak hirau
dengan martabat diri. Mengeluh ke segala orang. Mengucapkan kata-kata yang tak
pantas. Menulis di facebook, twitter, seolah-olah ingin orang sedunia
mengasihani kita. Di saat mengeluh seperti itu, bukan manfaat dan faedah
terpetik. Melainkan tambah terjerembab dalam kehinaan. Tak tertutup
kemungkinan, orang justru tertawa dengan pelbaga keluh kesah kita.
Buruknya Mengeluh
Rangkaian aktivitas mengeluh biasanya disertai dengan
sikap-sikap negatif. Emosi jadi super sensitif. Tak mampu berpikir rasional.
Kehilangan perspektif (dan menutup insiprasi yang baik). Intinya, mengeluh
dengan gaya kekanak-kanakan adalah jauh dari akal bening dan rasional.
Lalu, lambat laun, kita kehilangan mental positif. Di saat
mengeluh yang berlebihan, yang terjadi adalah over pesimistik (atau
ketidakberdayaan yang berlebihan). Ini sungguh keliru. Dan berbahaya pula.
Selain hanya melipatgandakan rasa malas (enggan bergerak),
juga memupus keberanian. Mengeluh yang keterlaluan juga merendahkan nilai diri
kita. Boleh jadi malah hanya merepotkan orang lain. Singkatnya, mengeluh yang
lebih dari proporsi, adalah menumpuk segala efek buruk. Mulai dari kehilangan
keberanian, kehilangan harga diri, kehilangan akal sehat, kehilangan daya
juang, dan juga kehilangan optimisme. Dalam Islam, semua ini dilarang!
Islam mengajarkan sikap hilm, yakni kemampuan mental untuk bisa bersikap
tenang, tegar, dan hati-hati dalam menyikapi sebuah masalah —yang mendera dan
menyedihkan kita. Islam tak melarang kita bersedih, duka, atau menangis. Yang
dilarang adalah: menjadikan semua itu sebagai pembenaran atas sikap-sikap
buruk, misalnya menjadi sangat sensitif, pemarah, emosional, atau perilaku
berlebihan lainnya.
Memang, manusiawi saja, bahwa semua
manusia memiliki kelemahan dalam menghadapi tantangan. Tetapi itu tak boleh
menjadikan kita lebih terpuruk. Karenanya, Al Qur-an memberi sebuah harapan
yang indah, untuk mereka yang “berbuat kesalahan” atau menghadapi situasi
sulit. Terletak di Surat Az Zumar, Ayat 53, yang berbunyi: Katakanlah, Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah…
Mari camkan… Allah menyapa dengan lembut, kepada mereka yang
“berbuat melebihi batas”, agar tidak terperosok dalam keputus-asaan dan menjadi
pesimis mati. Allah menawarkan peluang untuk bangkit. Allah mengajak kita untuk
bersandar pada kekuataNYA, meminta pertolongan padaNYA, dan meminta ampunan.
Semua itu mestinya menguatkan tekad kita, bahwa tak ada daya dan upaya, selain
atas kehendakNYA.
Sayangnya, mentalitas Ummat saat ini seperti terlena dalam
keputusasaan dan terbiasa membiarkan sikap-sikap pesimis berkembang biak. Ada
kecenderungan malah, menganggap sikap kalah, diam, pasif, dan terbuai dalam
kesedihan sebagai sesuatu yang baik.
Lebih-lebih saat ini, di mana Ummat sudah begitu akrab
dengan media sosial, yang mengungkapkan ekspresi diri tanpa batas. Tiap hari,
kita selalu melihat bahasa-bahasa negatif, tentang kondisi, keadaan, dan aneka
masalah yang berkembang di masyarakat. Seakan-akan dunia sudah akan runtuh
(mirip ramalan suku Maya, yang ternyata kiamat tak terjadi). Di mana-mana orang
mengeluh. Resah. Gundah gulana. Dan bahkan ada istilah beken, yang berarti
mengagungkan kondisi jiwa yang sedang sulit, yaitu g-a-l-a-u. Masyarakat kita
tiba-tiba menjadi masyarakat yang menikmati dan merayakan suasana galau.
Sejatinya ini sungguh bertabrakan dengan akidah.
Pokok perkaranya: aqidah Islam
menggantungkan keyakinan bahwa suasana dan keadaan yang terjadi (atau nasib)
sudah ada yang mengatur. Tak ada pihak manapun, kekuatan manapun, yang otomatis
mengubah keadaan kita. Hanya Allah saja yang mampu. Meski begitu, bukan berarti
kita diam total dan lari dari masalah. Justru, kepasrahan itu harus diiringi
dengan ikhtiar dan upaya. Ingat Surat Ar Ra’ad, Ayat 11, yang
berbunyi: Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum,
kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya!
Daya
Tahan
Bisa jadi, semua kita sudah akrab dengan petikan hikmah yang
terpapar di atas. Kita tahu persis, bahwa Al Quran adalah memiliki nama yang
baik, yaitu Al Hudan (sebagai petunjuk) dan As Syifa (sebagai obat). Bedanya,
tiap-tiap Ummat memiliki ketajaman intelektual, kebersihan batin, dan kekuatan
Iman untuk menerapkan kaidah-kaidah ketegaran hidup yang ada dalam Kibat Suci
Ummat Islam ini.
Olehnya, mungkin perlu penguraian atas petikan-petikan Ayat
Al Quran yang mengobati jiwa kita yang sedang bersedih. Bukan karena ayat-ayat
itu tak cukup, melainkan dalam kondisi saat ini, butuh ulasan yang lebih
argumentatif. Agar bisa mengena dan punya daya sentuh.
Inti yang terdepan, sesungguhnya dalam ajaran Islam kita
niscaya harus memiliki daya tahan. Karena Islam adalah agama misi, punya tugas
melakukan perbuatan baik (amalan hasanah). Ummat Islam adalah ummat terbaik
(khoiru ummah), berfungsi sebagai khalifah di bumi (dalam rangka mengerjakan
perbaikan dan menggerakkan kemajuan).
Mana mungkin beban berat tetapi bernilai mulia itu bisa
dikerjakan oleh insan yang cengeng. Mudah mengeluh. Rewel atau cerewet
menceritakan keburukan yang terjadi. Seraya berperilaku kekanak-kanakan?
Semua tantangan itu hanya
dipercayakan oleh Allah kepada Ummat Islam, sebagai komunitas terpilih.
Olehnya, wajar kalau kita wajib membangun daya tahan diri. Tahan menghadapi
godaan, hadangan, dan cobaan. Inilah pilar pertama yang harus kita miliki.
Dalam bahasa psikologi populer, hal ini disebut denganresilience factor, atau faktor daya tahan.
Faktor daya tahan muncul dan terbentuk dari sikap mental
yang positif, berwawasan terbuka, tumbuh di lingkungan yang baik, dan biasa
menempa diri dengan mencari jalan ke luar. Faktor daya tahan ini tak terwujud
tiba-tiba dan segera. Melainkan dari proses. Salah satu proses yang harus
dilewati adalah menjalani hidup dengan sabar.
Tentang Sabar
Daya tahan akan muncul bila kita memilki kualitas kesabaran
yang baik. Ada satu ungkapan sederhana, bahwa “orang sabar akan terhindar dari
segala keburukan yang menimpa orang-orang yang tak sabar.”
Dari sisi yang berbeda, kita bisa melihat, bahwa orang yang
tak sabar, pasti memetik resiko-resiko buruk. Karena ia akan berprasangka
buruk, bertindak tergesa-gesa, cepat marah, ingin segera mencapai hasil tanpa
kerja keras, Lebih fatal, orang tak sabar cenderung berperilaku sembarangan,
tak lagi mengindahkan baik dan buruk. Alhasil, dalam waktu tak lama, pelbagai
keburukan datang menghempas.
Semisal kita punya masalah lalu memberikan respon dengan tak
sabar, maka masalah itu bukan surut, malah jadi berlipat-lipat tambah rumit.
Maka daya tahan kita dalam berperilaku sabar bisa dilakukan dengan mudah, yaitu
memperhatikan apa-apa yang akan terjadi jika kita berperilaku tak sabar.
Lain lagi jika menarik perspektif normal tentang kualitas
sabar. Kebanyakan kita, memahami sabar adalah dengan wawasan terbatas.
Semata-mata memaknai sabar sebagai mengalah, diam, dan tak banyak berbuat.
Dalam satu segi, ini ada benarnya. Karena istilah sabar sendiri adalah berarti
“menahan”.
Namun perspektif ini tak cukup —untuk melahirkan kualitas
daya tahan diri kita. Sebab sabar adalah begitu luas. Di situ ada makna
ketekunan (tekun dan sabar melaksanakan perintah Allah). Ada juga makna
kesungguhan (sungguh-sungguh dan sabar dalam mengikuti petunjuk Allah). Sabar
juga berisi energi keyakinan (sabar mengupayakan hadirnya pertolongan Allah).
Dan jauh lebih penting lagi, sabar adalah tiang pancang keimanan. Seperti Hadis
Nabi yang terkenal, bahwa Iman itu terdiri dari dua perkara, yang pertama
adalah sabar, dan yang keuda adalah syukur.
Melihat betapa banyaknya mutiara hikmah dibalik kata sabar
ini (oleh Nabi bahkan disebut sebagai salah satu dari dua pokok Iman), maka
tentu kita tak boleh menyepelekannya.
Konteks Optimisme
Pun dalam hal membangun (dan mengobarkan) sikap optimisme,
maka nilai-nilai kesabaran menjadi akar tunjang yang utama.
Kungkungan masalah dan belitan
hidup, hanya bisa diterobos oleh orang-orang yang mampu melihat celah dan
peluang. Penglihatan itu juga harus jernih. Bersumber dari keyakinan diri yang
kuat. Ada satu teori, yaitu yang disebut logothrapy yang
dikembangkan oleh Victor Frankl. Logotherapy itu adalah ikhtiar penyembuhan
sakit jiwa, melalui tanda-tanda dan simbol-simbol. Ilmu ini menerangkan bahwa
orang-orang yang optimis dan bersabar dalam usaha mencari jalan ke luar, jauh
lebih kuat dan lebih berpeluang untuk lolos dari ancaman mematikan.
Sebaliknya, orang yang optimis dan cengeng, malah akan habis
dan lebih buruk nasibnya. Ilmu logoterapi itu bukan hanya teori, tetapi
bersumber dari pengalaman nyata dari penulisnya sendiri, yaitu seorang
Yahudi,yang menjadi tahanan di Kamp Auzwitch milik tentanara Nazi Jerman.
Ceritanya, ketika ia dan kawan-kawannya di siksa di dalam “kamp neraka
milik Nazi Hitler”, melihat langsung bahwa orang-orang yang cengeng segera
menemui ajal. Tetapi orang-orang yang sabar dan punya keyakinan kuat untuk hidup,
malah bisa selamat.
Kisah ini memang dari orang Yahudi, tetapi ada petikan
pelajaran di sana. Bahwa kesabaran dan sikap optimis, jauh lebih banyak
membantu. Benarlah, untuk apa kita berkeluh kesah tiada ujung. Jauh lebih afdal
kalau kita selalu bersabar dan memelihara sikap optimis. Insya Allah…
(Sumber : Catatan Akhir Tahun dari Andi Taufan Tiro)
0 comments:
Post a Comment