Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum
bin Nasyir ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah sampai diabaikan. Dia telah
meletakkan batasan-batasan, maka jangan sampai diterjang. Dia telah
mengharamkan beberapa hal, maka jangan dilanggar. Dia juga telah mendiamkan
beberapa hal, karena sayang kepada kalian dan bukan karena lupa, maka jangan
sampai kalian ributkan.”
(Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan yang lain)
(Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan yang lain)
URGENSI HADITS
Hadits ini termasuk jawami’ul kalim
yang menjadi keistimewaan Rasulullah saw. Ungkapan ini singkat, namun penuh
makna. Sebagian ulama berkata: “Selain hadits ini tidak ada hadits yang menghimpun masalah ushuliyah dan
furu’iyah.” Karena Rasulullah saw. membagi syariat Allah menjadi empat jenis:
faraidh [kewajiban], maharim [yang diharamkan], hudud [ketentuan hukum], dan
maskut anhu [hal-hal yang tidak diperbincangkan].
Ibnu Sam’ani berkata: “Orang yang
mengamalkan hadits ini, layak mendapatkan pahala dan terhindar dari siksa.
Karena orang yang melakukan hal-hal yang wajib, menjauhi larangan, tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yangn wajib, menjauhi larangan, tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang digariskan, dan tidak mempersoalkan berbagai perkara
yang didiamkan, maka ia telah menghimpun semua keutamaan dan memenuhi hak-hak
agama. Karena syariat tidak keluar dari hal-hal yang disebutkan dalam hadits
ini.”
KANDUNGAN HADITS
1. Keharusan melakukan hal-hal yang
fardlu dan wajib
Fardlu adalah sesuatu yang diperintahkan secara tegas oleh Allah kepada hamba-Nya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji.
Madzab Syafi’i berpendapat bahwa setiap yang diwajibkan oleh syara’, baik melalui al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau dalil syar’i yang lain, maka disebut fardlu. Jadi pengertian fardlu sama dengan wajib, kecuali dalam masalah haji. Dalam haji, fardlu adalah amalan yang tidak bisa diganti dengan dam, seperti: thawaf ifadhah. Sedangkan wajib adalah amalan yang bisa diganti dengan dam, seperti thawaf wada’.
Fardlu adalah sesuatu yang diperintahkan secara tegas oleh Allah kepada hamba-Nya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji.
Madzab Syafi’i berpendapat bahwa setiap yang diwajibkan oleh syara’, baik melalui al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau dalil syar’i yang lain, maka disebut fardlu. Jadi pengertian fardlu sama dengan wajib, kecuali dalam masalah haji. Dalam haji, fardlu adalah amalan yang tidak bisa diganti dengan dam, seperti: thawaf ifadhah. Sedangkan wajib adalah amalan yang bisa diganti dengan dam, seperti thawaf wada’.
Madzab Hanafi berpendapat, bahwa
fardlu adalah yang diperintahkan melalui dalil yang qath’i [pasti], seperti:
shalat dan zakat. Sedangkan wajib adalah yang diperintahkan melalui dalil
dhanni (tidak pasti, misalnya dengan qiyas atau khawab wahid [bukan
mutawathir]) seperti zakat fitrah.
Fardlu dibagi menjadi dua:
a. Fardlu ‘ain, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada setiap individu. Seperti shalat wajib, zakat dan puasa.
b. Fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang apabila adalah salah satu atau sebagian orang yang melakukannya, maka semua orang Islam terbebas dari dosa. Namun jika tidak ada orang yang melakukannya, maka semua orang Islam mendapatkan dosa, seperti: shalat jenazah, menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar.
b. Fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang apabila adalah salah satu atau sebagian orang yang melakukannya, maka semua orang Islam terbebas dari dosa. Namun jika tidak ada orang yang melakukannya, maka semua orang Islam mendapatkan dosa, seperti: shalat jenazah, menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar.
2. Tidak melampaui batasan-batasan
yang telah ditentukan Allah
Batasan-batasan tersebut adalah hukum-hukum yang dimaksud untuk mencegah dari perbuatan yang dilarang. Sebagai contoh: hukuman zina, hukuman mencuri, hukuman minum minuman keras.
Batasan-batasan tersebut adalah hukum-hukum yang dimaksud untuk mencegah dari perbuatan yang dilarang. Sebagai contoh: hukuman zina, hukuman mencuri, hukuman minum minuman keras.
Ketika Ibnu Zaid berusaha meminta
keringanan hukuman bagi wanita dair Bani Makhzumiyah yang dijatuhi kukuman
potong tangan, Rasulullah saw. menjawab: “Apakah kamu meminta keringan hukuman
yang telah ditentukan oleh Allah?”
Jadi ketentuan hukuman-hukuman ini harus dilaksanakan apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Jadi ketentuan hukuman-hukuman ini harus dilaksanakan apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Adapun penambahan hukuman terhadap
orang yang minum minuman keras, dari 40 cambukan ke 80 cambukan, adalah hal
yang bisa diterima, karena jumlah peminum minuman keras pada zaman Umar bin
Khaththab meningkat, maka tambahan tersebut dapat membuat jera yang lain.
Dengan demikian tambahan tersebut adalah ijtihad dari Umar ra. sedangkan kita
diperintahkan Rasulullah untuk mencontoh Umar bin Khaththab ra, sebagaimana
yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Contohlah dua orang setelahku, Abu Bakar
dan Umar.” Juga dalam hadits beliau yang dalam bentuk yang lebih umum.
“Berpegang teguhlah terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin.
Keputusan Umar juga telah disepakati
oleh para shahabat, terlebih setelah Ali ra. berkata: “Wahai Amirul Mukminin,
barangsiapa yang minum minuman keras maka ia akan berkata tidak karuan maka ia
telah menuduh orang lain tanpa bukti, sedangkan hukuman bagi orang yang menuduh
orang lain adalah delapan puluh kali… Allah berfirman, “Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik [berbuat zina] dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka [yang menuduh itu] delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selamanya. Dan
mereka itulah oran-orang yang fasik.” (an-Nurr: 4)
Ali ra. juga berkata: “40 atau 80, keduanya adalah sunnah.”
Ali ra. juga berkata: “40 atau 80, keduanya adalah sunnah.”
3. Larangan mendekati berbagai hal
yang diharamkan.
Yaitu hal-hal yang secara jelas telah diharamkan di dalam al-Qur’an dan hadits, seperti: kesaksian palsu, makan harta anak yatim, dan riba. Allah swt. berfirman: “Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.” (al-An’am: 151)
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram.”
Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian.”
Hal-hal yang diharamkan tidaklah banyak, dan semuanya mengandung mudharat. Selain hal-hal yang disebutkan keharamannya, maka masuk dalam kategori halal.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (al-Maa-idah: 87)
Yaitu hal-hal yang secara jelas telah diharamkan di dalam al-Qur’an dan hadits, seperti: kesaksian palsu, makan harta anak yatim, dan riba. Allah swt. berfirman: “Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.” (al-An’am: 151)
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram.”
Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian.”
Hal-hal yang diharamkan tidaklah banyak, dan semuanya mengandung mudharat. Selain hal-hal yang disebutkan keharamannya, maka masuk dalam kategori halal.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (al-Maa-idah: 87)
4. Rahmat Allah kepada hamba-Nya
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa apa-apa yang didiamkan oleh Allah swt. atau tidak ditegaskan halal haramnya, adalah rahmat Allah kepada hamba-Nya. hal-hal semacam ini boleh dilakukan atau ditinggalkan.
Karena diamnya Allah swt. bukanlah karena kesalahan atau kelalaian, Mahasuci Allah dari semua itu. Allah berfirman: “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64)
“Rabb-mu tidak akan salah dan tidak [pula] lupa.” (Thaha: 52)
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa apa-apa yang didiamkan oleh Allah swt. atau tidak ditegaskan halal haramnya, adalah rahmat Allah kepada hamba-Nya. hal-hal semacam ini boleh dilakukan atau ditinggalkan.
Karena diamnya Allah swt. bukanlah karena kesalahan atau kelalaian, Mahasuci Allah dari semua itu. Allah berfirman: “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64)
“Rabb-mu tidak akan salah dan tidak [pula] lupa.” (Thaha: 52)
5. Tidak boleh banyak bertanya
Larangan ini mungkin khusus pada zaman Nabi Muhammad saw. karena dengan banyak pertanyaan terhadap sesuatu yang belum disebut, dikhawatirkan menjadi penyebab turunnya satu hukum yang justru akan memberatkan.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Nabimu] hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (al-Maa-idah: 101)
Larangan ini mungkin khusus pada zaman Nabi Muhammad saw. karena dengan banyak pertanyaan terhadap sesuatu yang belum disebut, dikhawatirkan menjadi penyebab turunnya satu hukum yang justru akan memberatkan.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Nabimu] hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (al-Maa-idah: 101)
Namun bisa juga larangan itu masih
berlaku hingga sekarang, terutama pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak
mendatangkan kemaslahatan. Rasulullah saw. bersabda: “Cukuplah dengan apa yang aku
jelaskan. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak
bertanya dan berselisih dengan para nabinya.”
Dalam sabdanya yang lain, “Celakalah
orang-orang yang suka membahas perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya.”
Larangan itu juga terhadap usaha
untuk mendalami satu masalah hingga tahap berlebih-lebihan, sebagaimana yang
diutarakan oleh Ibnu Mas’ud ra. “Janganlah menanyakan hal-hal yang tidak
bermanfaat. Janganlah mendalami sesuatu secara berlebihan. Cukuplah dengan apa
yang dipahami oleh para shahabat ra…”
Para shahabat tidak banyak bertanya
kepada Rasulullah saw. Ada keheranan pada diri shahabat ra. ketika sekelompok
orang badui datang kepada Rasulullah saw. dan mendengarkan dengan seksama
jawaban yang diberikan oleh beliau.
Masuk dalam kategori
mempermasalahkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat adalah membahas dan
mempermasalahkan perkara-perkara ghaib. Padahal kita hanya diperintahkan untuk
meyakininya tanpa dijelaskan bagaimana bentuknya. Karena, membahas masalah ghaib
sangat mungkin akan melahirkan keraguan atau bahkan mendustakan.
Ibnu Ishak berkata: “Tidak boleh
memikirkan sang pencipta dan juga ciptaan-Nya, kecuali pernah didengar [dari
al-Qur’an atau hadits] sebagai contoh ayat: “Dan tiada suatupun melainkan ia bertasbih
dengan memuji-Nya.” (al-Israa’: 44)
Maka tidak boleh memikirkan bagaimana benda-benda padat bertasbih? Kita hanya diperintahkan mempercayai bahwa semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, bagaimana cara bertasbihnya? wallaaHu a’lam.
Maka tidak boleh memikirkan bagaimana benda-benda padat bertasbih? Kita hanya diperintahkan mempercayai bahwa semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, bagaimana cara bertasbihnya? wallaaHu a’lam.
Rasulullah saw. bersabda: “Setan
datang kepada salah seorang di antara kamu lalu bertanya: ‘siapakah yang
menciptakan ini? Siapakah yangmenciptakan itu?’ hingga pada satu pertanyaan:
‘Siapakah yang menciptakan Tuhan kamu?’ jika sampai pada pertanyaan itu maka berlindunglah
kepada Allah dan hentikanlah.” (HR Bukhari)
Beliau juga bersabda: “Manusia tidak
henti-hentinya bertanya, sehingga ia akan bertanya, ‘Allah yang menciptakan
makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ barangsiapa yang bertemu dengan
pertanyaan ini maka ucapkanlah: ‘Saya beriman kepada Allah.’” (HR Muslim)
6. Hadits ini menyuruh kita untuk
mematuhi semua kewajiban, komitmen dengan rambu-rambu yang ada, menjauhi
larangan dan tidak mempermasalahkan berbagai hal yang didiamkan.
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment