Abul
Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada
Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulallah, tunjukkan padaku suatu amalan yang
apabila kulakukan aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.” Rasululullah
saw. bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah
terhadap apa yang di tangan manusia, pasti manusia pun mencintaimu.” (HR Ibnu
Majah dan yang lain, hadits ini hasan)
URGENSI
HADITS
Hadits
ini berisikan dua pesan Nabi saw. yang sangat penting.
– Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah terhadap hamba-Nya.
– Zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.
– Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah terhadap hamba-Nya.
– Zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa seorang muslim tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia
dan akhirat, kecuali jika ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama
manusia. Cinta Allah dapat diraih dengan mengutamakan kepentingan akhirat
daripada kepentingan dunia. Sedangkan kasih sayang sesama manusia dapat diraih
dengan tidak serakah ingin memiliki harta dunia yang dimiliki orang lain, dan
lebih mengutamakan amal shalih. Karena amal shalih akan lebih bermanfaat bagi
akhiratnya.
Karena
itulah, Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini adalah satu dari empat
hadits yang menjadi siklus ajaran Islam.”
KANDUNGAN
HADITS
1.
Pengertian Zuhud
Ada banyak definisi yang diberikan oleh Shalafush shalih terhadap zuhud. Namun semuanya bermuara kepada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris al-Khaulaani ra. berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini keberadaan yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala.”
Ada banyak definisi yang diberikan oleh Shalafush shalih terhadap zuhud. Namun semuanya bermuara kepada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris al-Khaulaani ra. berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini keberadaan yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala.”
Jadi
pada dasarnya, zuhud bisa disimpulkan dalam tiga hal. Ketiganya adalah amalan
hati. Karena itulah, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Janganlah kamu bersaksi
bahwa seseorang itu orang yang zuhud, karena zuhud tempatnya di hati.”
Tiga
hal tersebut adalah:
a. Lebih
meyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan.
Sikap seperti ini lahir dari keyakinan yang benar dan tertanam sangat kuat
bahwa Allah swt. akan dan selalu menjamin rizky hamba-Nya.
Firman Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkynya.” (Huud: 6)
“Dan di langit terdapat [sebab-sebab] rezekinya.” (adz-Dzaariyaat: 22)
Firman Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkynya.” (Huud: 6)
“Dan di langit terdapat [sebab-sebab] rezekinya.” (adz-Dzaariyaat: 22)
b. Jika
seseorang mendapatkan musibah dalam urusan dunia, misalnya: hilangnya harta
benda, meninggalnya anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas
musibah tersebut, daripada meraung-raung seraya meminta agar musibah tersebut
tidak terjadi. Sikap seperti ini hanya bisa ditumbuhkan oleh keimanan yang
sempurna. Sikap ini menunjukkan betapa seseorang menganggap dunia adalah
sesuatu yang remeh.
Ibnu
Umar ra. berkata, dalam doanya Rasulullah saw. menyebutkan, “Ya Allah,
berikanlah kepada kami, rasa takut kepada-Mu yang bisa menyampaikan kami kepada
surga-Mu dan keyakinan yang bisa menjadikan kami menganggap remeh berbagai
musibah duniawi.”
c. Baik
pujian maupun cercaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh pada
kebenaran. Ini adalah merupakan tanda sikap zuhud terhadap dunia. Ibnu Mas’ud
berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridlaan manusia dengan cara yang
membuat Allah murka.”
Berikut
beberapa ungkapan para ulama seputar zuhud:
Hasan al-Basri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain ia berkata: ‘Ia lebih baik dariku.’”
Wahb bin al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak sedih ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya.”
Az-Zuhri berkata, ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak tertipu oleh yang halal.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Seseorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan jika ditimpa musibah ia sabar.”
Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu yang benar dan meletakkannya dengan benar.”
Suyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan. Bukan dengan memakan makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta yang dimiliki orang lain.”
Hasan al-Basri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain ia berkata: ‘Ia lebih baik dariku.’”
Wahb bin al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak sedih ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya.”
Az-Zuhri berkata, ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak tertipu oleh yang halal.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Seseorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan jika ditimpa musibah ia sabar.”
Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu yang benar dan meletakkannya dengan benar.”
Suyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan. Bukan dengan memakan makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta yang dimiliki orang lain.”
2.
Macam-macam Zuhud.
Menurut sebagian salafush Shalih, zuhud ada tiga:
a. Zuhud terhadap kemusyrikan
b. Zuhud terhadap perkara-perkara yang dilarang
c. Zuhud terhadap perkara-perkara yang diperbolehkan.
Menurut sebagian salafush Shalih, zuhud ada tiga:
a. Zuhud terhadap kemusyrikan
b. Zuhud terhadap perkara-perkara yang dilarang
c. Zuhud terhadap perkara-perkara yang diperbolehkan.
Dua
macam zuhud pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah yang wajib.
Ibnul Mubarak berkata, bahwa Ma’la bin Abi Muthi’ berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Segala perbuatan atau ucapan hanya karena Allah, dan bukan untuk mendaptkan keuntungan duniawi.
b. Hanya membatasi diri pada hal-hal yang bermanfaat.
c. Zuhud terhadap hal-hal yang halal. Ini hanya sebatas anjuran.
Ibnul Mubarak berkata, bahwa Ma’la bin Abi Muthi’ berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Segala perbuatan atau ucapan hanya karena Allah, dan bukan untuk mendaptkan keuntungan duniawi.
b. Hanya membatasi diri pada hal-hal yang bermanfaat.
c. Zuhud terhadap hal-hal yang halal. Ini hanya sebatas anjuran.
Ibrahim
bin Adham berkata, “Zuhud ada tiga jenis: zuhud wajib, zuhud keutamaan, dan
zuhud keselamatan. Zuhud wajib adalah zuhud terhadap hal-hal yang dilarang.
Zuhud keutamaan adalah zuhud terhadap hal-hal yang dibolehkan. Sedangkan zuhud
keselamatan adalah zuhud terhadap hal-hal yang syubhat.”
Imam
Ahmad Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Meninggalkan yang dilarang. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam
b. Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhudnya khowash (orang-orang khusus)
c. Meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah. Ini adalah zuhudnya arifin (orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna)
a. Meninggalkan yang dilarang. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam
b. Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhudnya khowash (orang-orang khusus)
c. Meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah. Ini adalah zuhudnya arifin (orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna)
3.
Langkah-langkah untuk meraih sifat zuhud.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang muslim, untuk meraih sifat zuhud. Diantaranya:
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang muslim, untuk meraih sifat zuhud. Diantaranya:
a.
Memikirkan kehidupan akhirat dan hari perhitungan. Dengan begitu ia dapat
mengalahkan godaan syetan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak tergoda oleh
gemerlapnya dunia yang sementara. Diriwayatkan bahwa Haritsah ra. berkata
kepada Rasulullah saw., “Pagi ini saya menjadi orang mukmin yang sebenarnya.”
Beliau berkata kepadanya: “Seorang mukmin yang benar itu memiliki hakekat.
Lantas apa hakekat dari keimananmu?” ia menjawab: “Saya jauhkan diriku dari
dunia, hingga di mataku batu dan permata tampak sama. Saya seakan-akan melihat
singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya seakan-akan melihat penduduk surga
bersenang-senang di dalam surga, dan penduduk neraka disiksa di dalam neraka.”
beliau berkata, “Hai Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, tetaplah
seperti itu.”
b.
Menumbuhkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir
kepada Allah, dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Juga dapat memperlambat
proses hisab, karena akan ditanya tentang bagaimana ia mensyukuri nikmat
tersebut. Firman Allah: “Kemudian kamu pasti akan ditanya, pada hari itu,
tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahan di dunia].” (at-Takaatsur: 8)
c. Memahami
sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat
sirna jika dibanding dengan apa yang ada di sisi Allah. “Seandainya dunia ini,
di sisi Allah, sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi
minum orang kafir, walau seteguk air.”
d.
Selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah bersabda,
“Dunia adalah terkutuk dan terkutuk juga apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali
dzikir kepada Allah dan yang mengikutinya, orang yang berilmu, atau orang yang
mencari ilmu.” (HR Ibnu Majah. Sanad hadits ini hasan)
Riwayat
lain menyebutkan: “Kecuali hal-hal yang dipergunakan untuk mencari ridla
Allah.” Artinya, dunia dan isinya hanya akan menjauhkan manusia dari Allah,
kecualii ilmu yang bermanfaat yang dapat membimbing manusia untuk mengenal,
mendekat, dan mengingat Allah.
4.
Dunia itu sepele, jangan sampai tertipu.
Orang-orang yang zuhud terhadap dunia, akan semakin bertambah kezuhudannya, manakala membaca firman-firman Allah swt. dan hadits-hadits Rasulullah saw. Ia akan mendapatkan bahwa dunia hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Karenanya, ia tidak akan tertipu dengan dunia.
Orang-orang yang zuhud terhadap dunia, akan semakin bertambah kezuhudannya, manakala membaca firman-firman Allah swt. dan hadits-hadits Rasulullah saw. Ia akan mendapatkan bahwa dunia hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Karenanya, ia tidak akan tertipu dengan dunia.
Firman
Allah, “tetapi kamu [orang-orang] kafir memilih kehidupan dunia. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’laa: 16-17)
“Katakanlah: ‘Kesenangan dunia hanya sebentar. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (an-Nisaa’: 77)
“Maka janganlah sekali-sekali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan [pula] penipu [setan] memperdayakanmu dalam [menaati] Allah.” (Lukman: 33)
“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini [dibandingkan dengan] akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit].” (ar-Ra’d: 26)
Jabir bin Abdullah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. lewat di sebuah pasar. Sementara orang-orang sibuk dengan urusan dunia. Ketika melihat bangkai seekor anak kambing congek, beliau mengambilnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini satu dirham?” Mereka menjawab: “Kami tidak mau. Kami apakan bangkai itu?” Beliau bertanya, “Bagaimana, kalau ini kalian miliki secara gratis?” Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya ia masih hidup, kami tidak tertarik karean kambing itu kambing congek. Apalagi sudah menjadi bangkai.” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia ini leibih rendah derajatnya daripada bangkai ini, di sisi Allah.” (HR Muslim)
“Katakanlah: ‘Kesenangan dunia hanya sebentar. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (an-Nisaa’: 77)
“Maka janganlah sekali-sekali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan [pula] penipu [setan] memperdayakanmu dalam [menaati] Allah.” (Lukman: 33)
“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini [dibandingkan dengan] akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit].” (ar-Ra’d: 26)
Jabir bin Abdullah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. lewat di sebuah pasar. Sementara orang-orang sibuk dengan urusan dunia. Ketika melihat bangkai seekor anak kambing congek, beliau mengambilnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini satu dirham?” Mereka menjawab: “Kami tidak mau. Kami apakan bangkai itu?” Beliau bertanya, “Bagaimana, kalau ini kalian miliki secara gratis?” Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya ia masih hidup, kami tidak tertarik karean kambing itu kambing congek. Apalagi sudah menjadi bangkai.” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia ini leibih rendah derajatnya daripada bangkai ini, di sisi Allah.” (HR Muslim)
Al-Mustaurid
al-Fihri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dunia, jika
dibandingkan dengan akhirat, melainkan semupama salah seorang di antara kamu
memasukkan ujung jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di ujung
jari.” (HR Muslim)
5.
Cercaan terhadap dunia tidak ditujukan kepada waktu atau tempat. Cercaan itu
disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits, bukan tertuju pada masa, yaitu siang
dan malam yang saling bergantian hingga hari kiamat. Karena Allah menjadikan
keduanya bergantian untuk memberi kesempatan bagi orang yang mau mengambil
pelajaran dan mau bersyukur.
Cercaan
tersebut juga bukan tertuju pada tempat, yaitu bumi yang telah dijadikan Allah
sebagai tempat berpijak. Bukan pula pada tumbuhan dan makhluk-makhluk yang
diciptakan Allah sebagai nikmat bagi hamba-hamba-Nya. Bagaimanapun kenikmatan
tersebut telah diberikan Allah kepada kita, untuk dimanfaatkan. Bahkan segala
kenikmatan yang ada adalah bukti bahwa Allah itu ada dan Mahakuasa.
Akan
tetapi cercaan tersebut pada dasarnya adalah cercaan terhadap sikap dan
perilaku di dunia. Karena sering kali manusia menyalahi ajaran para Rasul, dan
melakukan hal-hal yang menimbulkan mudlarat.
Firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudina tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.” (al-Hadid: 20)
Firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudina tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.” (al-Hadid: 20)
Ibnu
Rajab al-Hambali membagi manusia dalam dua golongan:
1.
Pertama, golongan yang mengingkari kehidupan setelah mati. Mereka tidak mempercayai
semua amalannya di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah yang disebut
dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak
percaya akan) pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa
tentaram dengan kehidupan ini, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.
Tempat mereka adalah neraka, sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat.”
(Yunus: 7)
Mereka
hanya mengejar kesenangan dunia, sebelum ajal menjemput mereka. Allah
berfirman: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang [di dunia] dan
makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal
mereka.” (Muhammad: 12)
Di
antara mereka, ada yang menyerukan untuk berlaku zuhud. Mereka berfikir, bahwa
banyaknya urusan dunia hanya akan menambah pusing, bahkan manakala hati semakin
cinta dunia maka ia akan semakin merasa pedih saat berpisah dengan dunia.
2.
Kedua, golongan yang mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini
bahwa semua perbuatan di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah pengikut
para rasul. Golongan ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Dhalim terhadap dirinya
b. Pertengahan
c. Senantiasa berlomba dalam kebaikan.
a. Dhalim terhadap dirinya
b. Pertengahan
c. Senantiasa berlomba dalam kebaikan.
Kelompok
yang paling banyak adalah kelompk pertama. mereka ini terbuai dengan kesenangan
dunia. Bahkan dunia menjadi tujuan utamanya. Mereka tidak menyadari bahwa
kenikmatan dunia hanyalah menopang untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat,
meskipun mereka mengklaim beriman terhadap akhirat.
Sedangkan
kelompok kedua adalah orang-orang yang memahami hakekat kehidupan dunia, namun
masih terlampau berlebihan dalam mereguk kenikmatan yang dibolehkan. Meskipun
tindakan itu tidak berdosa, namun akan mengurangi derajatnya di sisi Allah swt.
Ibnu Umar ra. pernah berkata, “Setiap kali seseorang mendapatkan dunia, niscaya derajatnya di sisi Allah berkurang, meskipun ia orang yang dermawan.”
Ibnu Umar ra. pernah berkata, “Setiap kali seseorang mendapatkan dunia, niscaya derajatnya di sisi Allah berkurang, meskipun ia orang yang dermawan.”
Qatadah
bin Nu’man ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah mencintai
seorang hamba, Dia akan menjauhkan orang tersebut dari dunia, seperti kalian
menjauhkan orang sakit dari makanan dan minuman yang membahayakan. (HR
Tirmidzi)
Abdullah
bin Umar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah penjara bagi
orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)
Adapun
kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sedikit. Mereka inilah yang
betul-betul memahami hakekat kehidupan dunia dan mengimplementasikan pemahaman
mereka dalam kehidupan nyata.
Mereka memahami bahwa dunia hanyalah ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa yang paling baik amalnya. Mereka juga memahami semua kenikmatan dunia tidaklah kekal.
Mereka memahami bahwa dunia hanyalah ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa yang paling baik amalnya. Mereka juga memahami semua kenikmatan dunia tidaklah kekal.
Firman
Allah, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan [pula] apa yang di
atasnya menjadi rata lagi tandus.” (al-Kahfi: 8)
Karena
itu mereka mengambil segala kenikmatan dunia hanyalah sekedarnya. Atau
diibaratkan dalam sebuah hadits, seperti sekadar melepas lelah.
Dalam
sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Aku tidak ada urusan dengan dunia.
Perumpamaanku dengan dunia, ibarat seorang musafir yang bernaung di bawah
pohon, setelah itu ia melanjutkan perjalanan.”
Di
antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekadar untuk
menyambung hidup. Gaya hidup seperti inilah yang sering ditempuh mereka yang
juhud.
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekedar yang mereka butuhkan, agar kuat dalam melakukan ibadah kepada Allah.
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekedar yang mereka butuhkan, agar kuat dalam melakukan ibadah kepada Allah.
Rasulullah
bersabda, “Aku dikaruniai rasa suka kepada wanita dan wewangian.” (HR Ahmad dan
Nasa’i)
‘Aisyah
ra. berkata, “Rasulullah saw. sukankepada wanita, wewangian dan makanan. Ia
mendapatkan wanita dan wewangian. Sedangkan makanan beliau tidak
mendapatkannya.” (HR Ahmad) beliau juga bersabda, “Dunia adalah sebaik-baik
tempat bagi orang yang menjadikannya bekal untuk akhirat demi mencari ridla
Tuhannya. Dan dunia adalah seburuk-buruk tempat bagi orang yang terlena
dengannya sehingga tercampak di akhirat dan tidak mendapatkan ridla Allah.”
(al-Hakim)
6. Cara
mendapatkan kecintaan Allah.
Kita
bisa mendapatkan mahabbatullah [cinta Allah] dengan bersikap zuhud terhadap
dunia, karena Allah mencintai orang yang menaati-Nya. Dengan zuhud terhadap
dunia, berarti kita hanya mengisi ruang hati kita dengan kecintaan kita kepada
Allah, maka Allah pun akan mencintai kita. Lain halnya dengan orang yang
mencintai dunia. Ruang hatinya akan terisi kecintaan dunia, hingga tidak
mungkin menyatu dengan kecintaan Allah.
Karena
itu dalam riwayat Rasulullah saw. bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal segala
dosa.”
Allah
adalah Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Karenanya, Dia tidak suka jika ada yang
menempati hati hamba-Nya selain Dia.
Andaikan tetap dipaksakan maka orang tersebut telah menyekutukan Allah di dalam hatinya dengan kecintaan terhadap dunia.
Cinta dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang membuatnya lupa kepada Allah. Sedangkan cinta dunia yang dimaksud untuk kebaikan dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hal tersebut sangatlah baik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang baik adalah hartanya laki-laki yang baik [shalih]. Harta tersebut digunakan untuk menyambung silaturahim dan untuk melakukan kebaikan.” (HR Ahmad)
Andaikan tetap dipaksakan maka orang tersebut telah menyekutukan Allah di dalam hatinya dengan kecintaan terhadap dunia.
Cinta dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang membuatnya lupa kepada Allah. Sedangkan cinta dunia yang dimaksud untuk kebaikan dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hal tersebut sangatlah baik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang baik adalah hartanya laki-laki yang baik [shalih]. Harta tersebut digunakan untuk menyambung silaturahim dan untuk melakukan kebaikan.” (HR Ahmad)
7. Cara
mendapatkan kasih sayang sesama manusia
Hadits
di atas mengajarkan kepada kita bagaimana mendapatkan kasih sayang dari sesama
manusia. Yaitu dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika kita
membiarkan mereka dengan apa yang mereka senangi, maka mereka akan suka kepada
kita. Sebaliknya, jika kita menginginkan apa yang mereka senangi, mereka akan
membenci kita.
Hasan
al-Bashri berkata, “Seseorang akan tetap disenangi sesama manusia selama ia
tidak tamak terhadap apa-apa yang mereka miliki. Karena jika ia tamak, maka
mereka akan membencinya.”
Seorang
Badui bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapakah pemimpin kalian?” Mereka
menjawab, “Hasan al-Bashri.” Ia bertanya, “Dengan apa ia menjadi pemimpin
kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak
memerlukan dunia yang mereka miliki.” Ia berkata, “Alangkah baiknya orang ini.”
Etika
seperti itu perlu sekali dimiliki oleh para pemimpin dan ulama. Ketika pemimpin
bersikap zuhud, rakyat akan menyukai dan mengikuti aturannya. Demikian juga
ulama, jika mereka zuhud, umat akan menghormati ucapannya dan akan mematuhi
nasehatnya.
Ibnu
Salam pernah bertanya kepada Ka’ab ra. di hadapan Umar ra., “Apa yang menjadikan
ilmu itu cepat hilang, padahal sebelumnya telah dihafal dan dijaga?” Ka’ab ra.
menjawab, “Tamak, perangai buruk, dan meminta-minta.” Ibnu Salam berkata,
“Benar.”
8.
Zuhudnya Rasulullah dan para shahabatnya
Jika
kita ingin mengetahui contoh keteladanan dalam masalah zuhud, maka kita akan
mendapatkanya pada diri Rasulullah saw. baik ucapannya maupun perbuatannya.
Bagaimanapun ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. adalah hasil didikan Allah
swt.
Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu dari kepada mereka apa-apa
yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga
kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah
lebih baik dan lebih kekal.” (ThaaHaa: 131)
Selama
hidupnya, sebelum dan sesudah hijrah, dalam keadaan senang maupun susah,
Rasulullah saw. senantiasa bersikap zuhud terhadap segala kenikmatan dunia,
mengejar kepentingan akhirat dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sikap ini
kemudian ditiru oleh para shahabat ra. Mereka kemudian menjadi orang-orang yang
patut menjadi teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.
Suatu
saat Ibnu Umar mendengar seseorang yang bertanya, “Dimana orang-orang yang
zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” lalu Ibnu Umar menunjukkan Kuburan
Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya berkata, “Mereka yang kamu
tanyakan?”
Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata kepada teman-temannya, “Shalat, puasa dan jihad
kalian, lebih banyak dari yang dilakukan oleh para shahabat ra. Akan tetapi
kebaikan mereka lebih banyak daripada kalian.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa
terjadi?” Ia menjawab, “Mereka lebih zuhud dari pada kalian. Mereka mendapatkan
banyak harta dunia, akan tetapi harta itu mereka belanjakan untuk perjuangan
Islam.”
Abu
Sulaiman pernah berkata, “Utsman ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. adalah gudang
harta. Keduanya membelanjakan harta itu dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Semua tingkah lakunya dilakukan sepenuh hati dan didasari pengetahuan
yang luas.”
9.
Zuhud yang tidak benar.
Zuhud
yang benar adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun zuhud yang
tidak benar adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau
merasakannya sedikitpun. Zuhud dengan pengertian seperti ini dianut oleh
sebagian umat Islam pada masa pemerintahan Abasiyah mulai melemah. Mereka
mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Hidup mereka adalah
hanya menggantungkan dari shadaqah orang lain. Dengan kondisi seperti ini,
mereka mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang zuhud. Padahal Islam sama
sekali tidak menghendaki perilaku hina yang membawa kehancuran tersebut.
Umat
Islam dewasa ini telah bisa menjauhi pemikiran seperti ini, mereka berusaha dan
berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dunia yang halal. Bahkan ada
kekhawatiran, berkibat lupa akan akhirat. Karenanya kita harus selalu berusaha
mencari sarana yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, dan membawa kita
kepada sikap zuhud, agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena
dengan dunia.
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment