Abu
Sa’id al-Khudriy ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya; jika
tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan
yang demikian itu tingkatan iman paling lemah.” (HR Muslim)
KANDUNGAN
HADITS
1.
Berkaitan dengan hadits di atas:
Imam Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, bahwa orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya adalah Marwan. Seorang laki-laki mengingatkannya, “Khutbah dilakukan setelah shalat.” Marwan menjawab, “Yang demikian itu telah ditinggalkan.” Abu Sa’id berkata, “Laki-laki ini telah melakukan tugasnya dalam usaha menyingkirkan kemungkaran. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran…”
Imam Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, bahwa orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya adalah Marwan. Seorang laki-laki mengingatkannya, “Khutbah dilakukan setelah shalat.” Marwan menjawab, “Yang demikian itu telah ditinggalkan.” Abu Sa’id berkata, “Laki-laki ini telah melakukan tugasnya dalam usaha menyingkirkan kemungkaran. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran…”
Disebutkan
juga dalam Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Sa’id ra. telah menarik lengan Marwan.
Bisa jadi, setelah Marwan tidak mau menurut pada laki-laki yang
mengingatkannya, maka Abu Sa’id marah dan menariknya.
2.
Al-Haq dan al-bathil telah ada, dan selalu berpasangan sejak adanya manusia di
muka bumi.
Setiap kali cahaya kebenaran mulai temaram, Allah mengirimkan orang-orang yang mau menyalakan cahaya tersebut hingga pengikut kebathilan tidak bisa berkutik.
Setiap kali cahaya kebenaran mulai temaram, Allah mengirimkan orang-orang yang mau menyalakan cahaya tersebut hingga pengikut kebathilan tidak bisa berkutik.
Namun
setiap kali pengikut kebatilan mendapat celah, mereka segera bergerak untuk
membuat kerusakan di muka bumi. Ini adalah beban dan tanggung jawab yang berat
bagi orang-orang yang hatinya terdapat cahaya keimanan. Semuanya akan bergerak
untuk menghancurkan kebathilan, kecuali mereka yang tidak mempunyai iman, rela
dengan kehidupan dunia dan siksa di akhirat.
Ibnu
Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang Nabi
sebelumku yang diutus Allah untuk umatnya, kecuali memiliki pembela dan
pengikut. Mereka menjalankan ajaran dan perintahnya. Setelah itu muncullah
generasi-generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan
melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan
tangannya ia adalah mukmin, Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya
ia adalah mukmin, dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya ia
adalah mukmin. Di luar itu maka tidak ada sedikitpun keimanan.” (HR Muslim)
3.
Memberantas kemungkaran.
Semua ulama sepakat bahwa memberantas kemungkaran hukumnya wajib, karena setiap muslim wajib memberantas kemungkaran yang ada sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan atau hatinya.
Semua ulama sepakat bahwa memberantas kemungkaran hukumnya wajib, karena setiap muslim wajib memberantas kemungkaran yang ada sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan atau hatinya.
a.
Memberantas kemungkaran dengan hati.
Mampu mengetahui hal-hal yang ma’ruf dan mengingkari kemungkaran melalui hati merupakan fardlu ‘ain bagi setiap individu muslim, dalam kondisi apapun. Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kemunkaran, maka ia akan celaka. Dan barangsiapa mengetahui kemunkaran tetapi tidak mengingkarinya, maka ini pertanda pertama hilangnya iman dari hati.
Mampu mengetahui hal-hal yang ma’ruf dan mengingkari kemungkaran melalui hati merupakan fardlu ‘ain bagi setiap individu muslim, dalam kondisi apapun. Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kemunkaran, maka ia akan celaka. Dan barangsiapa mengetahui kemunkaran tetapi tidak mengingkarinya, maka ini pertanda pertama hilangnya iman dari hati.
Ali ra.
pernah berkata: “Jihad yang menjadi kunci pertama kemenangan kalian, adalah
jihad dengan tangan, lalu dengan lisan, lalu dengan hati. Barangsiapa yang
tidak mengetahui yang baik, dan tidak mengingkari dengan hatinya kemunkaran
yang terjadi, maka ia akan kalah. Sehingga, kondisinya pun berbalik, yang di
atas menjadi di bawah.”
Suatu
saat, Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki berkata, “Celakalah orang
yang tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.” Mendengar hal ini Ibnu
Mas’ud lalu berkata, “Celakalah orang yang hatinya tidak mengenali kebaikan dan
kemunkaran.”
Mengingkari
kemunkaran dengan hati hanya dilakukan dalam kondisi lemah, yakni jika
seseorang tidak bisa memberantas kemunkaran dengan tangan atau lisan. Ibn
Mas’ud berkata, “Mungkin di antara kalian ini ada yang akan mengetahui
kemunkaran, tapi tidak mampu memberantasnya. Ia hanya bisa mengadu kepada Allah
bahwa ia benci kemunkaran itu.”
Apapun
yang dikatakan lemah atau tidak mampu adalah kondisi dimana dimungkinkan [jika
ia mengingkari kemunkaran dengan tangan atau lisan] adanya suatu bahaya yang
akan menimpa diri atau hartanya, dan ia tidak mampu menanggung semua itu. Jika
kemungkinan ini tidak ada, maka tetap diwajibkan untuk memberantas kemunkaran
dengan tangan atau lisan.
Abu
Sa’id al-Khudri ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat,
Allah akan bertanya kepada seseorang, “Apa yang menghalangimu untuk memberantas
kemunkaran yang kamu lihat?” Lalu Allah mengajarkan jawabannya, “Ya Rabbi, saya
mengharapkan pengampunan-Mu, dan sayat takut musibah yang akan menimpaku, atau
hartaku.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Meridlai
perbuatan dosa adalah dosa besar. Barangsiapa yang mengetahui perbuatan dosa,
dan ia ridla terhadap dosa tersebut, sama artinya ia telah melakukan dosa
besar. Baik ia melihat secara langsung atau mendengar.
Al-Urs
bin Umair ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika suatu kemaksiatan
dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihat tapi membencinya, seperti orang
yang tidak mengetahuinya. Sedangkan orang yang mendengar dan merestuinya, ia
seperti orang yang melihatnya.” (HR Abu Dawud)
Ini
tidak lain karena ridla terhadap suatu dosa berarti tidak mengingkari dosa
tersebut, meskipun dengan hati. Padahal mengingkari kemunkaran dengan hati
adalah fardlu ‘ain, sedangkan meninggalkan fardlu ‘ain adalah dosa besar.
b.
Memberantas kemungkaran dengan tangan dan lisan
Dalam masalah ini terdapat dua hukum:
– Fardlu kifayah, jika kemunkaran diketahui oleh lebih dari satu orang dari masyarakat muslim, maka hukum memberantas kemunkaran tersebut adalah fardlu kifayah. Artinya jika sebagian mereka, meskipun hanya satu orang telah menunaikan kewajiban tersebut, maka kewajiban itu telah gugur bagi lainnya. Namun jika seorang pun tidak ada yang melaksanakan kewajiban itu, maka semua orang yang sebenarnya mampu melaksanakannya mendapat dosa.
Dalam masalah ini terdapat dua hukum:
– Fardlu kifayah, jika kemunkaran diketahui oleh lebih dari satu orang dari masyarakat muslim, maka hukum memberantas kemunkaran tersebut adalah fardlu kifayah. Artinya jika sebagian mereka, meskipun hanya satu orang telah menunaikan kewajiban tersebut, maka kewajiban itu telah gugur bagi lainnya. Namun jika seorang pun tidak ada yang melaksanakan kewajiban itu, maka semua orang yang sebenarnya mampu melaksanakannya mendapat dosa.
Firman
Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali
‘Imraan: 104)
–
Fardlu ‘ain.
Hukum ini berlaku bagi seseorang [sendirian] yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantas kemunkaran tersebut. Atau jika yang mengetahui kemunkaran tadi masyarakat banyak, namun hanya satu orang yang mampu memberantasnya. Dan dua kondisi ini, hukum pemberantasan kemunkaran bagi orang tersebut adalah fardlu ‘ain. Jika ia tidak melaksanakannya, maka ia berdosa, sebagaimana disinyalir dalam hadits Nabi di atas, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran…..”
Hukum ini berlaku bagi seseorang [sendirian] yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantas kemunkaran tersebut. Atau jika yang mengetahui kemunkaran tadi masyarakat banyak, namun hanya satu orang yang mampu memberantasnya. Dan dua kondisi ini, hukum pemberantasan kemunkaran bagi orang tersebut adalah fardlu ‘ain. Jika ia tidak melaksanakannya, maka ia berdosa, sebagaimana disinyalir dalam hadits Nabi di atas, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran…..”
4.
Dampak yang timbul jika tidak dilakukan pemberantasan terhadap kemungkaran
Jika kemunkaran tidak diberantas, maka kejahatan akan tersebar luas di muka bumi, kemaksiatan akan merajalela, dan jumlah pembuat kerusakan semakin membengkak. Bahkan mereka mampu menguasai orang-orang yang baik sehingga cahaya kemuliaan menjadi padam. Pada saat inilah, mereka layak mendapat kemarahan Allah.
Jika kemunkaran tidak diberantas, maka kejahatan akan tersebar luas di muka bumi, kemaksiatan akan merajalela, dan jumlah pembuat kerusakan semakin membengkak. Bahkan mereka mampu menguasai orang-orang yang baik sehingga cahaya kemuliaan menjadi padam. Pada saat inilah, mereka layak mendapat kemarahan Allah.
Allah
swt. berfirman, “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.”
(al-Maa-idah: 78-79)
Abu
Bakar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika terjadi kemaksiatan dalam
suatu kaum, tetapi mereka tidak memberantasnya, padahal mereka mampu
melakukannya, maka dikhawatirkan Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka
semua.” (HR Abu Dawud)
Riwayat
lain menyebutkan, “Padahal yang tidak melakukan kemaksiatan lebih banyak
daripada yag melakukan kemaksiatan.”
Jarir ra.
berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika suatu kaum mengetahui
kemaksiatan, tetapi mereka tidak memberantasnya, padahal mereka mampu
melakukannya, maka Allah akan menimpakan adzab kepada mereka sebelum mereka
meninggal.” (HR Abu Dawud)
Riwayat
Ahmad menyebutkan, “Padahal yang tidak melakukan kemaksiatan lebih berwibawa,
dan lebih banyak jumlahnya daripada yang melakukan kemaksiatan.”
‘Adi
bin Umair ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
mengadzab manusia secara umum hanya karena perbuatan maksiat dari orang-orang
tertentu, kecuali mereka mengetahui kemaksiatan itu, namun tidak mau
memberantasnya. Padahal mereka sebenarnya mampu. Jika mereka melakukan seperti
itu maka Allah akan mengadzab semuanya, yang tidak melakukan dan yang
melakukan.” (HR Abu Dawud)
Riwayat
lain menyebutkan: “…..Akan tetapi manakala kemunkaran dilakukan secara
terang-terangan, maka mereka semua pantas mendapat adzab.”
Rasulullah
saw. juga mengilustrasikan amar ma’ruf nahi munkar dengan orang yang naik
kapal. “Perumpamaan orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dan orang
yang melakukan kemunkaran, adalah seumpama satu kaum yang berbagi tempat di
sebuah kapal. Sebagian penumpang mendapatkan tempat di lantai atas dan sebagian
lain mendapatkan tempat di lantai bawah. Ketika penumpang lantai bawah
membutuhkan air, mereka harus melewati penumpang di lantai atas. Maka mereka
berkata, “Kita lubangi saja dinding lantai bawah, tanpa harus mengganggu
penumpang atas.” Jika mereka dibiarkan melakukan rencana ini, maka semua
penumpang akan tenggelam. Sebaliknya, jika mereka dicegah, maka semua penumpang
akan selamat.” (HR Bukhari)
Ilustrasi
ini menggambarkan bahwa setiap kemunkaran yang dilakukan seseorang dalam
masyarakatnya sebenarnya merupakan bahaya yang dapat mengancam keselamatan
semua masyarakat.
5.
Pemahaman yang harus dirubah
Ada sebagian masyarakat yang mempunyai pemahaman salah terhadap amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mereka tidak mampu atau tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mereka berdalih dengan ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, orang yang sesat itu tidak akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (al-Maidah: 105)
Ada sebagian masyarakat yang mempunyai pemahaman salah terhadap amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mereka tidak mampu atau tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mereka berdalih dengan ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, orang yang sesat itu tidak akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (al-Maidah: 105)
Padahal
ayat ini justru sebuah isyarat untuk melaksanakan nahi munkar. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Abu Bakar ketika melihat fenomena penyimpangan tersebut. Abu
Bakar ra. berkata: “Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan
menempatkan bukan pada tempatnya. Padahal kami telah mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Jika manusia mengetahui kedhaliman dan tidak memberantasnya, maka
Allah akan menimpakan adzab kepada mereka.” (HR Abu Dawud)
Imam
Nawawi berkata: “Yang benar, dalam memahami ayat ini adalah, ‘Sesungguhnya jika
kalian menunaikan apa yang telah diwajibkan, maka orang-orang selain kalian,
yang tidak mau menunaikannya, tidak akan mencelakakan kalian.’” Ini senada
dengan firman Allah: “Dan orang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain.”(al-An’am: 164)
Jika
demikian, maka yang diwajibkan adalah amar ma’ruf nahi munkar. Jika ia
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, namun orang yang melakukan kemunkaran tidak
mau mendengar, maka ia telah berlepas dari tanggun jawab melakukan kewajiban
tersebut. Karena yang diwajibkan hanyalah amar ma’ruf nahi munkar, dan bukan
keberhasilan dalam melaksanakan kewajiban itu. wallaHu a’lam.
6.
Tidak memberantas kemungkaran karena takut menimbulkan kerusakan.
Jika seseorang mampu memberantas kemunkaran yang ia ketahui, namun ia sangat yakin jika itu dilakukan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemunkaran yang diberantas, maka dalam kondisi seperti ini kewajiban untuk memberantas kemunkaran telah gugur, sebagai refleksi dari kaidah fiqih yang menyatakan, “Memilih mudlarat yang lebih ringan dari dua mudlarat yang ada.”
Jika seseorang mampu memberantas kemunkaran yang ia ketahui, namun ia sangat yakin jika itu dilakukan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemunkaran yang diberantas, maka dalam kondisi seperti ini kewajiban untuk memberantas kemunkaran telah gugur, sebagai refleksi dari kaidah fiqih yang menyatakan, “Memilih mudlarat yang lebih ringan dari dua mudlarat yang ada.”
Namun
perlu diingat, bahwasannya yang dapat menggugurkan kewajiban adalah dugaan yang
mendekati kepastian, bukan sekedar dugaan yang tidak mendasar, yang terkadang
dipakai sebagai dalih sebagian orang untuk melepaskan tanggung jawab nahi
munkar.
7. Amar
ma’ruf dan Nahi munkar terhadap orang yang diyakini tidak akan menerimanya.
Para ulama berpendapat bahwa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang yang diyakini tidak akan menerima, adalah wajib. Karena kewajibannya hanyalah menyampaikan, sedang menerima atau tidak bukan menjadi tanggung jawab kita.
Para ulama berpendapat bahwa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang yang diyakini tidak akan menerima, adalah wajib. Karena kewajibannya hanyalah menyampaikan, sedang menerima atau tidak bukan menjadi tanggung jawab kita.
Allah
swt. berfirman: “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang memberi peringatan.” (al-Ghaasyiyah: 21)
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].”(asy-Syura: 48)
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”(adz-Dzaariyaat: 55)
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].”(asy-Syura: 48)
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”(adz-Dzaariyaat: 55)
Inilah
yang dimaksud oleh Abu Sa’id ra. ketika ia berkata: “Ia telah melakukan
kewajibannya.”
Allah
juga menceritakan perihal orang-orang yang berusaha mendakwahi orang-orang
Yahudi yang melanggar pada hari Sabtu, meskipun orang-orang yang mendakwahi
mereka tahu persis jika nasehatnya tidak akan membuahkan hasil: “Mengapa kamu
menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab dengan adzab
yang amat keras? Agar kami mempunyai alasan [pelepas tanggung jawab] kepada
Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.”(al-A’raaf: 164)
Semua
ini bantahan yang sangat jelas terhadap orang-orang pengecut yang tidak mau
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan bahkan berusaha menghalangi orang
lain untuk menunaikannya, dengan seolah mengatakn, “Mengapa kalian bersusah
payah. Biarkan saja. karena ucapan kalian tidak akan berguna sama sekali.”
Bahkan mungkin juga berargumen dengan ayat berikut: “Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (al-Qashash: 56)
Mereka
melupakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Thalib. Rasulullah
saw. tidak henti-hentinya mendakwahinya, hingga menjelang wafatnya. Kemudian
pamannya wafat dalam keadaan musyrik. Lalu turunlah ayat ini, untuk menghibur
kesedihan Nabi terhadap pamannya, bahwa ia tidak bisa memberikan hidayah di
hati orang yang paling dicintainya sekalipun. Ayat ini sama sekali tidak
melarang Nabi saw. untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang yang
tidak mau menerima seruan kebaikan. Firman Allah: “Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
8.
Ucapkan kebenaran tanpa keraguan
Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tanpa harus memandang siapa yang ia hadapi, siapapun dia dan apapun jabatannya. Juga tidak peduli terhadap cercaan dan ancaman yang ia terima, baik terhadap dirinya, keluarganya mapun hartanya, selama ancaman tersebut masih bisa ditanggungnya. Dengan tetap memperhatikan metode dakwah yang baik dan benar.
Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tanpa harus memandang siapa yang ia hadapi, siapapun dia dan apapun jabatannya. Juga tidak peduli terhadap cercaan dan ancaman yang ia terima, baik terhadap dirinya, keluarganya mapun hartanya, selama ancaman tersebut masih bisa ditanggungnya. Dengan tetap memperhatikan metode dakwah yang baik dan benar.
Abu
Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seseorang
terhalang oleh kehebatan seseorang untuk mengatakan al-haq, jika ia
mengetahuinya.” Setelah itu Abu Sa’id ra. menangis dan berkata, “Demi Allah,
kita menyaksikan banyak kemunkaran, namun kami takut.” (HR Tirmidzi)
Riwayat
Ahmad menambahkan, “Sesungguhnya mengatakan yang benar atau mengingatkan orang
pada siksaan neraka, tidak akan mempercepat ajal yang telah ditetapkan dan
tidak akan menjauhkan dari rizky yang telah ditentukan.”
Abu
Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah di antara kamu
menghinakan dirinya.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana
seseorang menghinakan dirinya?” beliau menjawab, “Ia melihat kemunkaran
dilakukan, tetapi ia diam saja. lalu Allah bertanya kepadanya, “Apa yang
menghalangimu untuk mengatakan ini dan itu?” Ia menjawab, “Karena saya takut
kepada mereka.” Allah berkata, “Aku lebih berhak untuk kamu takuti.” (HR Abu
Dawud)
Para
ulama berpendapat, bahwa ketakutan dalam konteks ini adalah ketakutan tanpa
dasar, bukan ketakutan dari sesuatu yang diyakini akan terjadi dan tidak mampu
menanggungnya, atau timbulnya kerusakan yang lebih besar, sebagaimana
penjelasan di atas.
9. Amar
ma’ruf nahi munkar terhadap para pemimpin.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah hak dan kewajiban bagi umat Islam. Sedangkan sebuah umat terdiri dari pemimpin dan rakyat. Jika pemimpin berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada rakyatnya, maka rakyat juga berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpinnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits di atas.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah hak dan kewajiban bagi umat Islam. Sedangkan sebuah umat terdiri dari pemimpin dan rakyat. Jika pemimpin berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada rakyatnya, maka rakyat juga berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpinnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits di atas.
Ibnu
Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seorang Nabi
sebelumku yang diutus untuk umatnya, kecuali memiliki pembela dan pengikut.
Mereka menjalankan ajaran dan perintahnya. Setelah itu muncullah generasi yang
mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa-apa yang tidak
diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia adalah
mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannnya, ia adalah mukmin.
Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia adalah mukmin. Di luar
itu tidak ada sedikitpun keimanan.” (HR Muslim)
Sa’id
bin Jubair ra. menceritakan bahwa dirinya berkata kepada Ibnu ‘Abbas ra.,
“Apakah saya harus melakukan amar ma’ruf kepada penguasa?” Ibnu ‘Abbas berkata,
“Jika kamu khawatir akan dibunuh, maka tidak wajib.” Sa’ad bin Jubair ra. pun
mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali, jawaban yang diterima pun sama.
Seraya Ibnu ‘Abbas ra. menambahkan, “Jika kamu harus melakukannya, maka
sebaiknya antara kamu dan dia saja.”
Imam
Thawus menyebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu ‘Abbas ra.
“Tidakkah saya harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada sultan?” Ibnu
Abbas ra. menjawab, “Jangan bikin kekacauan.” Ia berkata, “Apa pendapatmu, jika
ia menyuruhku melakukan maksiat?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Jika itu yang kamu
maksud, maka jadilah seorang laki-laki.”
Imam
Haramain berkata, “Jika seorang penguasa berlaku dhalim, sementara nasehat
tidak bisa menghentikannya, maka majelis syura bisa menurunkannya dari
jabatannya.” Imam Nawawi menambahkan, “Cara ini bisa dilakukan, manakala tidak
dikhawatirkan akan timbul kerusakan yang lebih besar.”
Sesaat
setelah dibaiat menjadi khalifah, Abu Bakar ra. berkhutbah, “Saya menjadi
pemimpin kalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika
saya benar maka bantulah saya dan jika salah maka luruskanlah. Taatilah aku
selama aku mentaati Allah. Namun jika saya maksiat, maka tiada ketaatan bagi
kalian.”
Hal
senada juga dilakukan ‘Umar bin Khaththab ra. Suatu ketika ada seseorang yang
berkata dengan nada yang amat keras, “Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai
‘Umar!!” Orang-orang yang ada di sekeliling Umar sepontan berkata, “Pelankan
suaramu di depan Amirul Mukminin.” Akan tetapi ‘Umar justru menjawab, “Tidak
ada kebaikan sama sekali jika kalian tidak mengatakannya [nasehat], dan tidak
ada kebaikan sama sekali juga bagi kami jika kami tidak menerimanya.”
Semoga para pemimpin umat Islam mendapat taufik dan hidayah untuk dapat mencontoh generasi terdahulu mereka.
Semoga para pemimpin umat Islam mendapat taufik dan hidayah untuk dapat mencontoh generasi terdahulu mereka.
10.
Saling menasehati, dan bukan membuat kekacauan
Dalam memberantas kemunkaran, tidak semestinya menggunakan pedang dan berbagai senjata lainnya, hingga menimbulkan pertumpahan darah. Yang dituntut sebenarnya adalah saling memberi nasehat, dan inilah sebenarnya inti ajaran agama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw.
Dalam memberantas kemunkaran, tidak semestinya menggunakan pedang dan berbagai senjata lainnya, hingga menimbulkan pertumpahan darah. Yang dituntut sebenarnya adalah saling memberi nasehat, dan inilah sebenarnya inti ajaran agama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw.
“Agama
itu nasehat.” Kami bertanya, “Bagi siapa?” Beliau bersabda, “Bagi Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin muslim kaum muslimin pada umumnya.” (HR
Muslim)
Adapun
nasehat terhadap kitab-kitab Allah adalah dengan mengamalkannya. Nasehat
terhadap Rasul-Rasul Allah adalah dengan komitmen terhadap sunnahnya, sedangkan
nasehat terhadap orang-orang muslim baik penguasa maupun rakyat adalah dengan
saling melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Firman
Allah: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(at-Taubah: 71)
11.
Antara keras dan lunak dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilaksanakan dengan penuh bijaksana, sebagaimana firman Allah:
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)
Amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilaksanakan dengan penuh bijaksana, sebagaimana firman Allah:
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)
Hikmah
tentu disesuaikan dengan kondisi orang yang dihadapi dan perkara yang akan
disampaikan. Kadang harus menggunakan ucapan yang lunak dan basa-basi. Kadang
juga harus keras. Firman Allah: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(ThaaHaa: 43-44)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
Karena
itulah, orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkarAmar ma’ruf nahi
munkar hendaknya dilaksanakan dengan penuh bijaksana, sebagaimana firman Allah:
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)
Hikmah
tentu disesuaikan dengan kondisi orang yang dihadapi dan perkara yang akan
disampaikan. Kadang harus menggunakan ucapan yang lunak dan basa-basi. Kadang
juga harus keras. Firman Allah: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(ThaaHaa: 43-44)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)
Karena
itulah, orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus memiliki
sifat-sifat tertentu. Di antaranya yang terpenting adalah: lemah lembut, adil
dan berilmu.
Sufyan
ats-Tsauri berkata, “Tidak layak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kecuali
orang yang meliki tiga sifat: lembut terhadap apa yang dia perintahkan dan
terhadap apa yang dia larang, dan memahami apa yang dia perintahkan dan apa
yang ia larang.”
Imam
Ahmad berkata, “Manusia perlu kelembutan. Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar
pun harus dilakukan dengan lembut. Kecuali terhadap orang yang sengaja
menampakkan kemunkarannya. Mereka tidak ada kelembutan kepadanya.”
Ahmad
berkata, “Menyuruh dengan lembut dan tidak angkuh. Jika tidak mendapatkan
sambutan yang tidak mengenakkan hati tidak marah. Disebutkan bahwa jika
melewati hal-hal yang dibenci, teman-teman Ibnu Mas’ud mengingatkan agar tidak
gegabah.””
12.
Sabar dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar
Ibnu Syubrumah berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar itu seperti jihad. Satu orang harus bisa bersabar ketika berhadapan dengan dua orang. Ia tidak boleh melarikan diri. Tapi jika yang dihadapi lebih dari dua, ada keringanan baginya. Jika ia bisa menanggung derita yang didapat, itu lebih baik.”
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Ahmad.
Ibnu Syubrumah berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar itu seperti jihad. Satu orang harus bisa bersabar ketika berhadapan dengan dua orang. Ia tidak boleh melarikan diri. Tapi jika yang dihadapi lebih dari dua, ada keringanan baginya. Jika ia bisa menanggung derita yang didapat, itu lebih baik.”
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Ahmad.
Allah
berfirman, “Dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik dan cegahlah [mereka]
dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.”
(Lukman: 17)
Jika yang ditakuti adalah cercaan atau kata-kata yang menyakitkan, maka kewajiban amar ma’ruf nahi munkar masih tetap berlaku.
Jika yang ditakuti adalah cercaan atau kata-kata yang menyakitkan, maka kewajiban amar ma’ruf nahi munkar masih tetap berlaku.
13.
Kemuliaan, bukan hinaan.
Kesulitan dan segala resiko yang dialami di jalan dakwah bukanlah kehinaan, tapi kemuliaan. Bahkan kematian di jalan dakwah adalah kesyahidan yang paling mulia.
Kesulitan dan segala resiko yang dialami di jalan dakwah bukanlah kehinaan, tapi kemuliaan. Bahkan kematian di jalan dakwah adalah kesyahidan yang paling mulia.
Imam
Ahmad ditanya, “Tidakkah Nabi pernah bersabda, ‘Seorang muslim tidak boleh
menghinakan diri.’ Yakni mencari resiko yang tidak tidak sanggup
ditanggungnya?” Beliau menjawab, “Permasalahan berbeda.” Artinya bahwa yang
dimaksud Nabi adalah manakala ia merasa bahwa ia tidak mampu menanggung resiko
yang akan dialami. Sedangkan yang dibicarakan adalah seseorang yang yakin bahwa
dia tidak bisa menanggung resiko yang akan dialami.
Abu
Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling mulia
adalah mengatakan kebenaran di hadapan pemimpin yang dhalim.” (HR Abu Dawud,
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jabir
bin Abdillah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Penghulu para syahid
adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang mendatangi pemimpin yang
dhalim, menyuruhnya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya dari yang munkar lalu ia
dibunuh.” (HR Hakim)
Abi
Ubaidillah Ibnu Jarrah ra. meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah
saw., “Ya Rasulullah, mati syahid yang bagaimanakah yang paling tinggi
derajatnya?” Rasulullah saw. menjawab, “Seorang yang berdiri di depan pemimpin
yang dhalim, menyuruhnya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya dari munkar, lalu
ia dibunuh.” (HR al-Bazzar)
14.
Nahi munkar hanya boleh dilakukan terhadap kemunkaran yang tampak.
Seorang muslim diwajibkan memberantas kemunkaran, jika kemunkaran tersebut jelas adanya, dan ia sendiri menyaksikannya. Dalilnya adalah hadits Nabi, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran….” karenanya, jika seseorang ragu-ragu terhadap keberadaan kemunkaran, maka ia tidak boleh memata-matai.
Seorang muslim diwajibkan memberantas kemunkaran, jika kemunkaran tersebut jelas adanya, dan ia sendiri menyaksikannya. Dalilnya adalah hadits Nabi, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran….” karenanya, jika seseorang ragu-ragu terhadap keberadaan kemunkaran, maka ia tidak boleh memata-matai.
Semakna
dengan “menyaksikan” adalah manakala ia diberitahu oleh orang yang bisa
dipercaya atau ada bukti-bukti yang menguatkan adanya kemunkaran. Dalam kondisi
seperti ini, ia harus mencegah kemunkaran tersebut dengan cara yang sesuai.
Dalam
hal ini, bolehkan melakukan pengintaian, atau bahkan masuk rumah orang tanpa
izin? Tergantung perkaranya. Jika kemunkaran yang terjadi dalam sebuah tempat
tertutup perlu dicegah segera, seperti zina dan pembunuhan, maka dibolehkan.
Bahkan boleh melakukan pengintaian terhadap tempat-tempat yang diduga kuat
menjadi sarang kemunkaran seperti ini. Agar masyarakat terbebas dari kehinaan.
Seseorang
mengadu kepada Ibnu Mas’ud, “Janggut si fulan basah oleh khomr.” Ia menjawab,
“Allah melarang kita untuk melakukan pengintaian.”
15.
Nahi munkar tidak berlaku untuk perkara-perkara yang diperdebatkan
kemunkarannya oleh para ulama.
Para ulama sepakat bahwa yang harus diberantas hanyalah perkara-perkara yang jelas dan disepakati kemunkarannnya. Misalnya: minum minuman keras, riba, tidak menutup aurat, meninggalkan shalat, tidak mau berjihad, dan lain sebagainya.
Para ulama sepakat bahwa yang harus diberantas hanyalah perkara-perkara yang jelas dan disepakati kemunkarannnya. Misalnya: minum minuman keras, riba, tidak menutup aurat, meninggalkan shalat, tidak mau berjihad, dan lain sebagainya.
Adapun
masalah-masalah yang masih diperdebatkan di antara ulama, apakah perkara
tersebut haram atau tidak, wajib atau tidak, maka orang yang melakukan perkara
tersebut tidak bisa diberantas. Dengan syarat, perdebatan ini memang terjadi
dan diakui oleh para ulama yang kredibel, dan berdasarkan pada dalil. Perbedaan
yang muncul dari kalangan ahl bid’ah dan kelompok yang berseberangan dengan
ahlu sunnah wal jama’ah tidak termasuk dalam kategori ini. Seperti Khawarij dan
yang lain. Begitu juga perbedaan yang tidak didasari dalil atau bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat. Seperti nikah mut’ah [nikah kontrak].
16.
Tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar bersifat umum dan khusus.
Amar ma’ruf nahi munkar diwajibkan bagi setiap muslim yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantasnya. Kewajiban ini tidak ada diskriminasi antara penguasa dan rakyat jelata, ulama maupun orang biasa.
Amar ma’ruf nahi munkar diwajibkan bagi setiap muslim yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantasnya. Kewajiban ini tidak ada diskriminasi antara penguasa dan rakyat jelata, ulama maupun orang biasa.
Firman
Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imraan: 110)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki maupun perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”(at-Taubah: 71)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki maupun perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”(at-Taubah: 71)
Ini
semua menunjukkan bahwa amanah tersebut dibebankan kepada umat Islam secara
umum. Sebagaimana diisyaratkan dalam hadits, “Barangsiapa di antara kalian yang
mengetahui kemunkaran.”
Namun
demikian, tanggung jawab tersebut mempunyai tingkat penekanan yang lebih pada
dua kelompok: Ulama dan umara’ [pemimpin].
Ulama
mempunyai tanggung jawab lebih besar karena mereka mengetahui berbagai hukum
Islam, yang tidak diketahui kebanyakan masyarakat. Apalagi mereka ini mempunyai
tingkat kewibawaan yang lebih tinggi, hingga membuat amar ma’ruf dan nahi
munkar yang dilakukan oleh mereka lebih didengar dan diperhatikan. Selain itu,
mereka juga dapat melakukannya dengan hikmah dan nasehat yang baik.
Firman
Allah: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Alangkah
bahayanya jika para ulama mengabaikan amanah yang dibebankan Allah di atas
pundaknya ini. Ibnu Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ketika
bani Israil bergelimang dengan kemaksiatan, ulama mereka melarang. Namun mereka
tidak merespon. Para ulama lalu ikut duduk bersama mereka, makan bersama, minum
bersama. Maka Allah menutup hati mereka dan melaknat mereka melalui lisan Dawud
dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas.” Rasulullah saw. yang saat itu berdiri lalu duduk dan
bersabda, “Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, mestinya mereka terus
mengajak kaum itu hingga mau menerima kebenaran.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Tanggung
jawab para pemimpin lebih besar. Bahaya yang ditimbulkan, jika mereka tidak mau
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, juga lebih besar. Karena pemimpin
mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki kemampuan untuk menerapkan apa yang
diperintahkan dan apa yang dilarang. Bahkan bisa memaksa masyarakat untuk
melaksanakan setiap perintah. Mereka tidak perlu takut terhadap penolakan
masyarakat, karena mereka memiliki kekuatan dan senjata yang cukup.
Rasulullah
saw. bersabda, “Orang yang takut kepada penguasa lebih banyak daripada mereka
yang takut kepada al-Qur’an.” (disebutkan Ibnu Atsir dalam an-Nihayah)
Oleh
karena itu, jika para pemimpin tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
maka ahli maksiat semakin merajalela dalam menyebarkan kemaksiatan, tanpa
mengindahkan hukum Islam sama sekali.
Karena
itulah sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang layak mendapat dukungan
dari Allah adalah mau menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40-41)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40-41)
Dengan
demikian, jika pemimpin mengabaikan amanah yang besar tersebut, maka mereka
benar-benar telah mengkhianati amanah yang telah dibebankan Allah di atas
pundak mereka dan telah menyia-nyiakan rakyatnya.
Yang
lebih celaka, bila para pemimpin bergelimang dalam kemaksiatan, dan tidak mau
mendengarkan orang yang menasehatinya. Apalagi, jika mereka menghalangi al-ma’ruf
[kebaikan] dan menyuruh kepada yang munkar. Mereka inilah yang disebut dalam
firman Allah, “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru [manusia]
ke neraka pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (al-Qashash: 41)
17.
Adab dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Salah satu adab dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dengan demikian akan membawa dampak besar bagi orang yang ia seru. Bahkan amal perbuatannya juga diterima Allah swt. dan bukan justru menjadi hujjah yang menjerumuskan dirinya pada hari kiamat kelak.
Salah satu adab dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dengan demikian akan membawa dampak besar bagi orang yang ia seru. Bahkan amal perbuatannya juga diterima Allah swt. dan bukan justru menjadi hujjah yang menjerumuskan dirinya pada hari kiamat kelak.
Firman
Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 2-3)
Usamah
bin Zaid berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat, ada seorang
laki-laki yang dicampakkan ke dalam neraka, lalu seluruh isi perutnya terburai
keluar. Ia kemudian berguling-guling seperti himar yang berputar sekitar
penggilingan. Melihat hal tersebut penghuni neraka bertanya kepadanya: “Ya
fulan, apa yang terjadi dengan dirimu?” Ia menjawab, “Memang… saya telah
melakukan amar ma’ruf. Namun saya menyuruh kepada kebaikan tetapi saya sendiri
tidak melakukannya. Saya melarang dari kemunkaran, tapi saya sendiri tidak
meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
18.
Termasuk bagian dari keimanan.
Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian dari keimanan. Keutamaan amar ma’ruf nahi munkar ini berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar itu sendiri. Orang yang memberantas kemunkaran dengan tenagannya tentunya lebih utama dibandingkan dengan orang yang melakukan dengan lisannya. Orang yang melakukan dengan lisannya lebih utama daripada orang yang melakukan dengan hatinya. Sebagaimana disbutkan dalam hadits, “Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Diriwayatkan bahwa beliau juga bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun kedua-duanya adalah baik.”
Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian dari keimanan. Keutamaan amar ma’ruf nahi munkar ini berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar itu sendiri. Orang yang memberantas kemunkaran dengan tenagannya tentunya lebih utama dibandingkan dengan orang yang melakukan dengan lisannya. Orang yang melakukan dengan lisannya lebih utama daripada orang yang melakukan dengan hatinya. Sebagaimana disbutkan dalam hadits, “Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Diriwayatkan bahwa beliau juga bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun kedua-duanya adalah baik.”
19.
Niat dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya hanya mengharap keridlaan Allah swt. dan dalam rangka merealisasikan perintah-Nya semata. Bukan karena ambisi duniawi.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya hanya mengharap keridlaan Allah swt. dan dalam rangka merealisasikan perintah-Nya semata. Bukan karena ambisi duniawi.
Seorang
muslim dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar pada dasarnya hanyalah
semata-mata karena rasa sayang terhadap manusia yang melakukan kemaksiatan.
Teramat sayang dan berusaha menolong mereka dari kemarahan adzab Allah, karena
kemaksiatan yang mereka lakukan.
Semua
itu ia lakukan untuk mengharap pahala dari Allah, dan menjaga dirinya dari
siksa neraka jahanam yang akan didapat jika tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar.
Jarir Ibnu Abdullah al-Bajly ra. berkata, “Saya telah membaiat Rasulullah saw. untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jarir Ibnu Abdullah al-Bajly ra. berkata, “Saya telah membaiat Rasulullah saw. untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim.” (HR Bukhari dan Muslim)
20.
Ubudiyah [penghambaan] yang sesungguhnya.
Boleh jadi yang mendorong untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar bagi seseorang adalah keimanannya yang mendalam kepada Allah swt. bahwa Allah adalah Dzat yang harus ditaati, karena itu Dia tidak pantas untuk ditentang. Dia adalah Dzat yang harus diingat, karena itu Dia tidak boleh dilupakan. Semua manusia harus bersyukur kepada-Nya, karena itu tidak boleh seorang pun kufur kepada-Nya.
Boleh jadi yang mendorong untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar bagi seseorang adalah keimanannya yang mendalam kepada Allah swt. bahwa Allah adalah Dzat yang harus ditaati, karena itu Dia tidak pantas untuk ditentang. Dia adalah Dzat yang harus diingat, karena itu Dia tidak boleh dilupakan. Semua manusia harus bersyukur kepada-Nya, karena itu tidak boleh seorang pun kufur kepada-Nya.
Dengan
keimanannya itu, ia kemudian berusaha untuk menggiring setiap makhluk untuk
meyakini dan mentaati Allah swt. Dalam usahanya ini, ia akan rela mengorbankan
apa saja, termasuk sesuatu yang paling berharga yang dimiliki. Andai ia
mendapatkan penderitaan ataupun mara bahaya, maka ia akan menerimanya dengan
lapang dada. Boleh jadi justru akan meminta kepada Allah, agar Allah memberikan
ampunan dan hidayah kepada orang yang telah berlaku tidak baik kepadanya.
Sikap
seperti ini tidak akan bisa tercapai, kecuali oleh orang yang telah tertanam
dalam jiwanya ubudiyah yang hakiki. Lihatlah Rasulullah saw. beliau telah
disakiti kaumnya, dipukuli, hingga darah beliau mengalir di wajah. Namun beliau
hanya berkata, “Ya Allah ampunilah kaumku, karena mereka adalah orang-orang
yang tidak tahu.”
Sebagian
salafush shalih ada yang berkata, “Saya mendambakan semua makhluk menaati
Allah, meskipun dagingku harus dicabik-cabik.”
Abdullah bin ‘Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkata kepada ayahnya, “Saya mendambakan diriku dan dirimu dibakar di atas api, karena membela agama Allah.”
Abdullah bin ‘Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkata kepada ayahnya, “Saya mendambakan diriku dan dirimu dibakar di atas api, karena membela agama Allah.”
21.
Kesimpulan
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, masalah ini [amar ma’ruf nahi munkar] telah dilupakan dalam waktu yang cukup lama. Hanya sebagian orang yang mau melakukannya. Padahal masalah ini adalah masalah yang sangat penting. Ia menjadi tulang punggung sebuah perintah. Jika perbuatan keji merajalela maka adzab akan menimpa semuanya, baik yang shalih maupun yang durhaka.
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, masalah ini [amar ma’ruf nahi munkar] telah dilupakan dalam waktu yang cukup lama. Hanya sebagian orang yang mau melakukannya. Padahal masalah ini adalah masalah yang sangat penting. Ia menjadi tulang punggung sebuah perintah. Jika perbuatan keji merajalela maka adzab akan menimpa semuanya, baik yang shalih maupun yang durhaka.
Firman
Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nuur: 63)
Karenanya,
bagi orang yang benar-benar menghendaki akhirat dan menginginkan keridlaan
Allah, hendaknya memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh. Karena
masalah ini membawa manfat yang sangat besar. Terlebih jika disertai niat yang
ikhlas dan tidak menghentikan usahanya hanya karena pangkat orang yang
dihadapinya, karena Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong [agama]-Nya.”(al-Hajj: 40)
“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada [agama] Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Ankabuut: 69)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)
“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada [agama] Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Ankabuut: 69)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)
Ketahuilah
bahwa pahala yang akan didapat disesuaikan dengan kesusahan yang telah dialami.
Tidak layak, jika seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena alasan
persahabatan dan kasihan. Sebaliknya, persahabatan dan rasa kasihan itulah yang
harus mendorong untuk melakukan kewajiban ini. Para Nabi menjadi kekasih
orang-orang yang beriman karena upaya mereka agar kaumnya mendapat hidayah.
Amar
ma’ruf nahi munkar hendaknya dilakukan dengan lemah lembut agar lebih
membuahkan hasil. Imam Syafi’i pernah berkata, “Baransiapa menasehati
saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar telah memberi nasehat.
Sedangkan barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang banyak, maka
ia telah membuka aibnya.”
wallaaHu
a’alam.
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment