Sesungguhnya kita tercengang
membandingkan proses kedewasaan pada masa kenabian dengan pada masa sekarang.
Pada usia baligh, anak-anak sudah dianggap memiliki kemampuan untuk mandiri,
karena mereka telah mampu membedakan mana hal yang baik dan buruk. Baligh
ditandai dengan menstruasi pada perempuan, dan ihtilam pada lelaki.
Kisaran usia
menstruasi, rata-rata antara 9 sampai 12 tahun. Ada yang kurang dari 9 tahun
sudah menstruasi, dan ada yang lebih dari 12 tahun belum mendapatkan
menstruasi. Pada anak laki-laki, ihtilam atau “mimpi basah” terjadi pada
kisaran usia 10 sampai 14 tahun, bisa kurang atau lebih dari batas tersebut.
Konon, Aisyah
menikah dengan Nabi Saw pada usia 6 tahun, namun baru bercampur dengan Nabi Saw
setelah mendapatkan haid, pada usia 9 tahun. Seorang sahabat Nabi Saw
dikisahkan telah memiliki cucu pada usia 22 tahun. Kita merasa heran, pada usia
yang masih sangat dini mereka telah memiliki cukup kedewasaan menanggung beban
kehidupan nyata.
Bandingkan dengan
anak-anak kita zaman sekarang. Umur 20 tahun saja masih dianggap “kecil” oleh
orang tua dan lingkungan. Menikah pada usia 20 tahun dianggap nikah dini. Ini
adalah konstruksi budaya yang akhirnya melahirkan keterlambatan dalam
memunculkan jiwa kemandirian pada anak-anak. Umur SMP dan SMA dianggap belum
cukup umur sehingga pendapatnya sering tidak didengarkan.
Sampai selesai
kuliah S-1, masih banyak yang belum bisa mandiri dan belum muncul sifat
kemandirian. Saya ingat teman kos saat masih kuliah di UGM dulu, setiap hari
Ahad ada petugas utusan bapaknya yang datang ke kos untuk mengambil pakaian
kotor dan mengantar pakaian bersih untuk sepekan. Saat itu kami semua mencuci
pakaian sendiri –karena belum ada industri laundry murah seperti saat ini.
Banyak sarjana
lulusan perguruan tinggi ternama yang bingung setelah lulus kuliah. Mereka
tidak tahu akan bekerja dimana. Yang dilakukan hanyalah melamar pekerjaan,
memasukkan berkas lamaran dan ijazah ke setiap instansi yang sesuai dengan
disiplin ilmunya, sambil menunggu panggilan kerja. Ketika menunggu dalam waktu
lama tidak ada panggilan kerja, mereka menjadi bingung dan luntang-lantung.
Bagi yang memiliki dana cukup atau memiliki peluang beasiswa, bisa memperlama
masa belajar dengan mengambil studi S-2.
Ini semua
merupakan hasil dari proses pembiasaan di rumah, proses pendidikan di sekolah
dan perguruan tinggi, juga pengaruh lingkungan sekitar. Anak-anak menjadi manja
pada rentang usia yang panjang, karena dimanjakan oleh keluarga, sekolah dan
lingkungan. Anak-anak sekolah dasar hingga lulus kuliah masih menempati posisi
istimewa, karena semua mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Sangat jarang
mahasiswa yang membiayai sendiri kuliahnya dari hasil usaha mandiri, apalagi
untuk pendidikan SMA.
Tentu saja kita
tidak akan menuntut anak-anak yang sedang menempuh pendidikan untuk sepenuhnya
membiayai hidup mereka sendiri. Yang lebih penting adalah tumbuhnya jiwa mandiri
pada anak-anak, sehingga mereka memiliki mental yang positif dalam membangun
kehidupan mereka.
Bagaimana
Menanamkan Kemandirian pada Anak ?
Untuk menanamkan
jiwa kemandirian pada anak, diperlukan serangkaian usaha serius yang dimulai
dari dalam keluarga. Pendidikan anak, pada dasarnya dimulai dari proses
interaksi antara orang tua dengan anak di dalam keluarga. Apa yang dibiasakan
di dalam rumah, akan menjadi modal pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan pada
diri anak.
Beberapa usaha
yang bisa dilakukan di dalam rumah untuk melatih anak mandiri sejak dini antara
lain:
1. Biarkan
anak-anak melakukan pekerjaan mereka sendiri, walaupun hasilnya kurang
sempurna.
Kadang-kadang
orang tua tidak sabar dengan proses yang terjadi pada anak, sehingga memberikan
bantuan yang berlebihan. Misalnya, menyiapkan keperluan mandi. Sebenarnya untuk
anak usia TK sudah bisa mulai diajari untuk melakukan pekerjaan menyiapkan
keperluan mandi. Apalagi ketika sudah SD, mereka bukan saja menyiapkan
keperluan mandi, namun keperluan sekolah sudah harus mandiri.
Baju seragam apa
yang akan dipakai hari senin, buku pelajaran apa yang harus dibawa,
perlengkapan sekolah yang harus disiapkan, semua bisa dilakukan sendiri oleh
anak-anak. Makin dewasa usia mereka, semakin sedikit bantuan yang harus
diberikan orang tua.
Memang hasilnya
belum sempurna, mungkin anak salah jadwal, mungkin anak salah seragam, dan lain
sebagainya. Namun itu adalah proses menuju kemandirian. Sekedar memakaikan
sepatu, memasang tali sepatu, mungkin mereka lama melakukannya, namun itu
penting bagi penanaman jiwa kemandirian mereka.
2. Berikan
pujian atas usaha mereka
Ketika anak-anak
berhasil melakukan pekerjaan sendiri, berilah pujian dan apresiasi
positif atas usaha mereka. Dengan apresiasi positif ini, mereka merasa
dihargai dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang lebih baik. Pujian juga
akan meningkatkan kepercayaan diri anak-anak.
Walaupun
pekerjaan mereka lama dan tidak sempurna, namun tetap berikan pujian atas apa
yang telah mereka usahakan. Apresiasi positif diberikan bukan karena kualitas
hasil saja, tetapi juga karena kesungguhan mereka berusaha.
3. Berikan
tanggung jawab kepada anak
Berilah anak-anak
tanggung jawab menyangkut keperluan mereka sendiri sesuai kemampuan usianya.
Tentu saja hal ini harus sudah disepakati terlebih dahulu dengan mereka.
Misalnya tanggung jawab membersihkan kamar tidur atau kamar mandi setiap hari,
atau tanggung jawab mencuci piring dan gelas setiap habis makan, walaupun di
rumah ada pembantu yang bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.
Dengan
bertambahnya usia mereka, bisa diberikan tanggung jawab yang lebih banyak dan
berat. Misalnya tanggung jawab mencuci dan menyeterika baju. Bahkan pada usia
tertentu, mereka sudah harus mengambil tanggung jawab keluarga, bukan hanya hal
yang menyangkut dirinya.
4. Jangan
cepat membantu kesulitan mereka
Orang tua
hendaknya tidak langsung memberikan mereka bantuan jika mereka mengalami
kesulitan. Biarkan mereka mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri,
kita wajib memberikan dorongan dan semangat agar mereka tidak mudah menyerah.
Jika mereka benar-benar kesulitan , orang tua baru memberikan arahan bagaimana
menyelesaikan kesulitan itu. Saat mereka telah berada di puncak kesulitan,
barulah orang tua memberikan bantuan yang diperlukan.
Misalnya ketika
mengerjakan PR atau tugas dari sekolah. Biarkan anak-anak mengerjakan sendiri
sesuai kemampuan mereka. Jangan dikerjakan oleh orang tua atau saudara. Jika
ada kesulitan, biarkan mereka berpikir dan mencoba lagi. Jika memang tidak bisa,
berikan petunjuk atau arahan. Jika tetap tidak bisa, berikan bantuan sebatas
yang diperlukan.
Orang tua jangan
mengambil alih hal-hal yang menjadi kewajiban anak untuk menyelesaikannya.
5. Disiplin
dalam menerapkan pembelajaran
Orang tua harus
lebih disiplin dalam menerapkan pembiasaan dan pembelajaran pada anak. Jika
orang tua bersikap disiplin dalam menerapkan proses pembelajaran kemandirian,
akan mempercepat munculnya jiwa kemandirian pada anak. Namun jika orang tua
tidak disiplin, tidak sabar dan tidak telaten, akan memperlama munculnya jiwa
kemandirian pada anak-anak.
Kedisiplinan
orang tua akan menjadi kunci keberhasilan dalam membentuk jiwa kemandirian pada
anak. Dalam menjaga kedisiplinan ini, memang memerlukan sikap “tega” untuk
melihat anaknya dalam kesulitan. Kadang banyak orang tua yang tidak tega,
sehingga semua beban anak diambil alih oleh orang tuanya. Jadilah mereka anak
manja.
6. Berikan
motivasi untuk mandiri
Kata-kata,
cerita,dan kegiatan positif bisa memberikan motivasi pada anak-anak. Orang tua
harus terus mendorong anak untuk melakukan berbagai kegiatan positif untuk
anak-anak. Berbagai kisah motivatif bisa disampaikan kepada anak-anak, seperti
kisah nyata keberhasilan orang-orang sukses yang memulai dari titik nol. Mereka
merintis usaha dengan penuh kesungguhan dan akhirnya bisa mencapai kesuksesan.
Seperti kisah Honda atau Kolonel Sanders yang akhirnya memiliki bisnis tingkat
internasional, padahal bermula dari bawah.
Demikian pula
kisah orang-orang cacat yang hebat, bisa memotivasi anak-anak untuk menjadi
lebih baik. Seperti kisah Hirotada Ototake, atau kisah hidup Nick Vujicic, atau
Bob Willen. Video tentang kehidupan mereka juga bisa menjadi inspirasi dan
sumber motivasi.
7. Ajak anak
diskusi
Berikan
pertanyaan dan ajak anak-anak untuk berdiskusi tentang berbagai hal dalam
kehidupan mereka. Misalnya saja, ketika anak suka main game, maka ajak mereka
berdiskusi tentang pengaruh game, dan batasan-batasan yang diperlukan agar
tidak membawa pengaruh negatif. Ketika anak-anak senang menonton film, maka
ajak mereka berdiskusi tentang film apa yang layak dilihat dan apa pengaruh
positifnya bagi mereka.
Dengan cara
diajak diskusi, mereka akan mengerti tentang konsekuensi setiap pilihan yang
mereka ambil. Hal ini akan membuat anak-anak lebih dewasa dan bertanggung jawab
dalam setiap pilihan yang mereka ambil.
8. Ajari
anak kepedulian sosial
Ajari anak-anak
untuk peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Sesekali waktu ajak
anak-anak ke panti asuhan yatim atau ke tempat pendidikan anak-anak cacat.
Berikan penjelasan kepada mereka tentang urgensi kepedulian sosial. Dengan
melatih kepekaan dan kepedulian sosial, diharapkan anak-anak akan mengerti
penderitaan hidup orang lain, banyaknya orang yang memerlukan pertolongan dan
seterusnya.
Dengan demikian
mereka akan lebih bisa mensyukuri berbagai anugerah Allah yang diberikan berupa
kesehatan, kelengkapan anggota tubuh, kehidupan dalam keluarga yang utuh,
kecukupan ekonomi, dan seterusnya.
9. Ajak anak
merancang masa depan
Ajak anak-anak
untuk merancang masa depan mereka sendiri. Biarkan mereka memberikan gambaran
atas cita-cita yang ingin diraih. Berilah mereka keyakinan bahwa mereka pasti
dapat mencapai cita-cita tersebut selama mau bekerja keras dan rajin belajar
maupun bekerja.
Demikianlah beberapa
cara untuk menanamkan jiwa kemandirian pada anak-anak. Tentu saja harus
disertai dengan doa permohonan kepada Allah agar diberikan anak-anak yang
shalih dan shalihah, bertaqwa, dan memberikan kemanfaatan bagi keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment