Tuesday, 28 April 2015



Sesungguhnya kita tercengang membandingkan proses kedewasaan pada masa kenabian dengan pada masa sekarang. Pada usia baligh, anak-anak sudah dianggap memiliki kemampuan untuk mandiri, karena mereka telah mampu membedakan mana hal yang baik dan buruk. Baligh ditandai dengan menstruasi pada perempuan, dan ihtilam pada lelaki.
Kisaran usia menstruasi, rata-rata antara 9 sampai 12 tahun. Ada yang kurang dari 9 tahun sudah menstruasi, dan ada yang lebih dari 12 tahun belum mendapatkan menstruasi. Pada anak laki-laki, ihtilam atau “mimpi basah” terjadi pada kisaran usia 10 sampai 14 tahun, bisa kurang atau lebih dari batas tersebut.
Konon, Aisyah menikah dengan Nabi Saw pada usia 6 tahun, namun baru bercampur dengan Nabi Saw setelah mendapatkan haid, pada usia 9 tahun. Seorang sahabat Nabi Saw dikisahkan telah memiliki cucu pada usia 22 tahun. Kita merasa heran, pada usia yang masih sangat dini mereka telah memiliki cukup kedewasaan menanggung beban kehidupan nyata.
Bandingkan dengan anak-anak kita zaman sekarang. Umur 20 tahun saja masih dianggap “kecil” oleh orang tua dan lingkungan. Menikah pada usia 20 tahun dianggap nikah dini. Ini adalah konstruksi budaya yang akhirnya melahirkan keterlambatan dalam memunculkan jiwa kemandirian pada anak-anak. Umur SMP dan SMA dianggap belum cukup umur sehingga pendapatnya sering tidak didengarkan.
Sampai selesai kuliah S-1, masih banyak yang belum bisa mandiri dan belum muncul sifat kemandirian. Saya ingat teman kos saat masih kuliah di UGM dulu, setiap hari Ahad ada petugas utusan bapaknya yang datang ke kos untuk mengambil pakaian kotor dan mengantar pakaian bersih untuk sepekan. Saat itu kami semua mencuci pakaian sendiri –karena belum ada industri laundry murah seperti saat ini.
Banyak sarjana lulusan perguruan tinggi ternama yang bingung setelah lulus kuliah. Mereka tidak tahu akan bekerja dimana. Yang dilakukan hanyalah melamar pekerjaan, memasukkan berkas lamaran dan ijazah ke setiap instansi yang sesuai dengan disiplin ilmunya, sambil menunggu panggilan kerja. Ketika menunggu dalam waktu lama tidak ada panggilan kerja, mereka menjadi bingung dan luntang-lantung. Bagi yang memiliki dana cukup atau memiliki peluang beasiswa, bisa memperlama masa belajar dengan mengambil studi S-2.
Ini semua merupakan hasil dari proses pembiasaan di rumah, proses pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi, juga pengaruh lingkungan sekitar. Anak-anak menjadi manja pada rentang usia yang panjang, karena dimanjakan oleh keluarga, sekolah dan lingkungan. Anak-anak sekolah dasar hingga lulus kuliah masih menempati posisi istimewa, karena semua mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Sangat jarang mahasiswa yang membiayai sendiri kuliahnya dari hasil usaha mandiri, apalagi untuk pendidikan SMA.
Tentu saja kita tidak akan menuntut anak-anak yang sedang menempuh pendidikan untuk sepenuhnya membiayai hidup mereka sendiri. Yang lebih penting adalah tumbuhnya jiwa mandiri pada anak-anak, sehingga mereka memiliki mental yang positif dalam membangun kehidupan mereka.
Bagaimana Menanamkan Kemandirian pada Anak ?
Untuk menanamkan jiwa kemandirian pada anak, diperlukan serangkaian usaha serius yang dimulai dari dalam keluarga. Pendidikan anak, pada dasarnya dimulai dari proses interaksi antara orang tua dengan anak di dalam keluarga. Apa yang dibiasakan di dalam rumah, akan menjadi modal pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan pada diri anak.
Beberapa usaha yang bisa dilakukan di dalam rumah untuk melatih anak mandiri sejak dini antara lain:
1. Biarkan anak-anak melakukan pekerjaan mereka sendiri, walaupun hasilnya kurang sempurna.
Kadang-kadang orang tua tidak sabar dengan proses yang terjadi pada anak, sehingga memberikan bantuan yang berlebihan. Misalnya, menyiapkan keperluan mandi. Sebenarnya untuk anak usia TK sudah bisa mulai diajari untuk melakukan pekerjaan menyiapkan keperluan mandi. Apalagi ketika sudah SD, mereka bukan saja menyiapkan keperluan mandi, namun keperluan sekolah sudah harus mandiri.
Baju seragam apa yang akan dipakai hari senin, buku pelajaran apa yang harus dibawa, perlengkapan sekolah yang harus disiapkan, semua bisa dilakukan sendiri oleh anak-anak. Makin dewasa usia mereka, semakin sedikit bantuan yang harus diberikan orang tua.
Memang hasilnya belum sempurna, mungkin anak salah jadwal, mungkin anak salah seragam, dan lain sebagainya. Namun itu adalah proses menuju kemandirian. Sekedar memakaikan sepatu, memasang tali sepatu, mungkin mereka lama melakukannya, namun itu penting bagi penanaman jiwa kemandirian mereka.
2. Berikan pujian atas usaha mereka
Ketika anak-anak berhasil melakukan pekerjaan sendiri, berilah  pujian dan apresiasi positif atas usaha mereka. Dengan apresiasi positif ini, mereka merasa dihargai dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang lebih baik. Pujian juga akan meningkatkan kepercayaan diri anak-anak.
Walaupun pekerjaan mereka lama dan tidak sempurna, namun tetap berikan pujian atas apa yang telah mereka usahakan. Apresiasi positif diberikan bukan karena kualitas hasil saja, tetapi juga karena kesungguhan mereka berusaha.
3. Berikan tanggung jawab kepada anak
Berilah anak-anak tanggung jawab menyangkut keperluan mereka sendiri sesuai kemampuan usianya. Tentu saja hal ini harus sudah disepakati terlebih dahulu dengan mereka. Misalnya tanggung jawab membersihkan kamar tidur atau kamar mandi setiap hari, atau tanggung jawab mencuci piring dan gelas setiap habis makan, walaupun di rumah ada pembantu yang bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.
Dengan bertambahnya usia mereka, bisa diberikan tanggung jawab yang lebih banyak dan berat. Misalnya tanggung jawab mencuci dan menyeterika baju. Bahkan pada usia tertentu, mereka sudah harus mengambil tanggung jawab keluarga, bukan hanya hal yang menyangkut dirinya.
4. Jangan cepat membantu kesulitan mereka
Orang tua hendaknya tidak langsung memberikan mereka bantuan jika mereka mengalami kesulitan. Biarkan mereka mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri, kita wajib memberikan dorongan dan semangat agar mereka tidak mudah menyerah. Jika mereka benar-benar kesulitan , orang tua baru memberikan arahan bagaimana menyelesaikan kesulitan itu. Saat mereka telah berada di puncak kesulitan, barulah orang tua memberikan bantuan yang diperlukan.
Misalnya ketika mengerjakan PR atau tugas dari sekolah. Biarkan anak-anak mengerjakan sendiri sesuai kemampuan mereka. Jangan dikerjakan oleh orang tua atau saudara. Jika ada kesulitan, biarkan mereka berpikir dan mencoba lagi. Jika memang tidak bisa, berikan petunjuk atau arahan. Jika tetap tidak bisa, berikan bantuan sebatas yang diperlukan.
Orang tua jangan mengambil alih hal-hal yang menjadi kewajiban anak untuk menyelesaikannya.
5. Disiplin dalam menerapkan pembelajaran
Orang tua harus lebih disiplin dalam menerapkan pembiasaan dan pembelajaran pada anak. Jika orang tua bersikap disiplin dalam menerapkan proses pembelajaran kemandirian, akan mempercepat munculnya jiwa kemandirian pada anak. Namun jika orang tua tidak disiplin, tidak sabar dan tidak telaten, akan memperlama munculnya jiwa kemandirian pada anak-anak.
Kedisiplinan orang tua akan menjadi kunci keberhasilan dalam membentuk jiwa kemandirian pada anak. Dalam menjaga kedisiplinan ini, memang memerlukan sikap “tega” untuk melihat anaknya dalam kesulitan. Kadang banyak orang tua yang tidak tega, sehingga semua beban anak diambil alih oleh orang tuanya. Jadilah mereka anak manja.
6. Berikan motivasi untuk mandiri
Kata-kata, cerita,dan kegiatan positif bisa memberikan motivasi pada anak-anak. Orang tua harus terus mendorong anak untuk melakukan berbagai kegiatan positif untuk anak-anak. Berbagai kisah motivatif bisa disampaikan kepada anak-anak, seperti kisah nyata keberhasilan orang-orang sukses yang memulai dari titik nol. Mereka merintis usaha dengan penuh kesungguhan dan akhirnya bisa mencapai kesuksesan. Seperti kisah Honda atau Kolonel Sanders yang akhirnya memiliki bisnis tingkat internasional, padahal bermula dari bawah.
Demikian pula kisah orang-orang cacat yang hebat, bisa memotivasi anak-anak untuk menjadi lebih baik. Seperti kisah Hirotada Ototake, atau kisah hidup Nick Vujicic, atau Bob Willen. Video tentang kehidupan mereka juga bisa menjadi inspirasi dan sumber motivasi.
7. Ajak anak diskusi
Berikan pertanyaan dan ajak anak-anak untuk berdiskusi tentang berbagai hal dalam kehidupan mereka. Misalnya saja, ketika anak suka main game, maka ajak mereka berdiskusi tentang pengaruh game, dan batasan-batasan yang diperlukan agar tidak membawa pengaruh negatif. Ketika anak-anak senang menonton film, maka ajak mereka berdiskusi tentang film apa yang layak dilihat dan apa pengaruh positifnya bagi mereka.
Dengan cara diajak diskusi, mereka akan mengerti tentang konsekuensi setiap pilihan yang mereka ambil. Hal ini akan membuat anak-anak lebih dewasa dan bertanggung jawab dalam setiap pilihan yang mereka ambil.
8. Ajari anak kepedulian sosial
Ajari anak-anak untuk peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Sesekali waktu ajak anak-anak ke panti asuhan yatim atau ke tempat pendidikan anak-anak cacat. Berikan penjelasan kepada mereka tentang urgensi kepedulian sosial. Dengan melatih kepekaan dan kepedulian sosial, diharapkan anak-anak akan mengerti penderitaan hidup orang lain, banyaknya orang yang memerlukan pertolongan dan seterusnya.
Dengan demikian mereka akan lebih bisa mensyukuri berbagai anugerah Allah yang diberikan berupa kesehatan, kelengkapan anggota tubuh, kehidupan dalam keluarga yang utuh, kecukupan ekonomi, dan seterusnya.
9. Ajak anak merancang masa depan
Ajak anak-anak untuk merancang masa depan mereka sendiri. Biarkan mereka memberikan gambaran atas cita-cita yang ingin diraih. Berilah mereka keyakinan bahwa mereka pasti dapat mencapai cita-cita tersebut selama mau bekerja keras dan rajin belajar maupun bekerja.
Demikianlah beberapa cara untuk menanamkan jiwa kemandirian pada anak-anak. Tentu saja harus disertai dengan doa permohonan kepada Allah agar diberikan anak-anak yang shalih dan shalihah, bertaqwa, dan memberikan kemanfaatan bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
(Sumber : CahyadiTakariawan - edukasi.kompasiana.com)
#SPUBerbagi

0 comments:

Post a Comment