Menyebut nama Umar bin al-Khattab,
nalar kita begitu reflek membayangkan sosok pemimpin yang tegas, adil, dan
karismatik. Ditambah perawakan Umar yang tinggi-besar dan bersuara lantang.
Menjadikan figurnya seolah-olah pemimpin di kisah-kisah dongeng yang begitu
ideal. Ya, Umar memang seorang yang adil. Dia juga tegas. Dan dia berhasil
memakmurkan rakyatnya.
Aahh.. kiranya Umar hadir di zaman
sekarang.. seloroh sebagian orang sebagai keluh keputus-asaan akan sosok
pemimpin idaman.
Kita bersyukur banyak kaum muslimin
mencintai sosok Umar. Mereka mencintai sahabat Nabi ﷺ yang mulia. Nomor dua kedudukannya jika
dirunut bersama Abu Bakar, radhiallahu ‘anhuma. Anas bin Malikradhiallahu
‘anhu pernah berkata, “Aku mencintai Nabi ﷺ, mencintai Abu Bakar, dan mencintai Umar. Aku
berharap bisa bersama dengan mereka (di hari kiamat) lantaran kecintaanku pada
mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari,
No. 3688).
Selain dikenal tegas, Umar juga
memiliki sifat lembut dan kasih sayang kepada rakyatnya.
Umar Takut Jika Menelantarkan
Rakyatnya
Muawiyah bin Hudaij radhiallahu
‘anhu datang menemui Umar setelah penaklukkan Iskandariyah. Lalu ia
menderumkan hewan tunggangngannya. Kemudian keluarlah seorang budak wanita.
Budak itu melihat penat Umar setelah bersafar. Ia mengajaknya masuk.
Menghidangkan roti, zaitun, dan kurma untuk Umar. Umar pun menyantap hidangan
tersebut. Kemudian berkata keapda Muawiyah, “Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan
tadi ketika engkau mampir di masjid?” “Aku katakan bahwa Amirul Mukminin sedang
tidur siang”, jawab Muawiyah. Umar berkata, “Buruk sekali apa yang engkau
ucapkan dan alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau aku tidur di
siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari,
aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur
pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”1.
Mungkin Muawiyah bin Hudaij bermaksud
kasihan kepada Umar. Ia ingin Umar beristirahat karena capek sehabis bersafar.
Rakyat pun akan memaklumi keadaan itu dan juga kasihan kepada pemimpinnya,
sehingga mereka rela jika Umar beristirahat. Tetapi Umar sendiri malah khawatir
kalau hal itu termasuk menghalangi rakyatnya untuk mengadukan keinginannya
mereka kepadanya.
Umar berkata, “Jika ada seekor onta
mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai
pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu2.
Karena onta tersebut berada di wilayah
kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya.
Ketika onta itu mati sia-sia; karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau
terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan
memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat. Subhanallah… kalau
rasa tanggung jawab kepada hewan pun sampai demikian, bagaimana kiranya kepada
manusia? Semoga Allah meridhai dan senantiasa merahmati Anda wahai Amirul
Mukminin…
Berkaca pada keadaan kita jalan
berlubang sehingga banyak yang celaka, banjir, macet, tidak aman di jalanan,
dan lain sebagainya. Diklaim sebagai pemimpin yang adil dan amanah. Memang
standarnya berbeda.
Pada saat haji terakhir yang ia
tunaikan dalam hayatnya, Umar radhiallahu ‘anhu duduk
bersimpuh kemudian membentangkan rida’nya. Ia mengangkat tinggi kedua tangannya
ke arah langit. Ia berucap, “Ya Allah.. sungguh usiaku telah menua dan ragaku
kian melemah, sementara rakyatku semakin banyak (karena wilayah Islam meluas
pen.), cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak disia-siakan.”3
Perhatian Terhadap Rakyat
Perhatian Umar terhadap rakyatnya
benar-benar membuat kita kagum dan namanya pun kian mengharum, mulia bagi
mereka pembaca kisah kepemimpinannya. Doa-doa rahmat dan ridha untuknya begitu
deras mengalir. Siang-malam ia pantau keadaan rakyatnya. Ia benar-benar sadar
kepemimpinan itu adalah melayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status
sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata.
Orang hari ini kenal belusukan sebagai
ciri pimpinan peduli, Umar telah melakukannya sejak dulu dengan ketulusan hati.
Ia duduk bersama rakyatnya, mengintipi keadaan mereka, dan menanyai hajat
kebutuhan. Kepada yang kecil atau yang besar. Kepada yang kaya atau yang
miskin. Ia tidak pernah memberikan batas kepada mereka semua.
Abdullah bin Abbas radhiallahu
‘anhuma mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama
rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti
keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik,
melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.4
Sebagian rakyat ada yang merasa enggan
mengadukan permasalahannya. Mereka segan karena betapa wibawanya Umar. Kemudian
beberapa orang sahabat; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin
Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi
Waqqash ingin memberi tahu Umar tentang hal ini. Dan majulah Abdurrahman bin
Auf yang paling berani untuk membuka pembicaraan dengan Umar.
Serombongan sahabat ini berkata,
“Bagaimana jika engkau (Abdurrahman) berbicara kepada Amirul Mukminin. Karena
ada orang yang ingin dipenuhi kebutuhannya, namun segan untuk berbicara
dengannya karena wibawanya. Sehingga ia pun pulang menahan keperluannya.
Abdurrahman pun menemui Umar dan
berbicara kepadanya. “Amirul Mukminin, bersikaplah lemah lembut kepada
orang-orang. Karena ada orang yang hendak datang menemuimu, namun suara mereka
untuk memberi tahu kebutuhan, tercekat oleh wibawamu. Mereka pun pulang dan
tidak berani bicara”, kata Abdurrahman.
Umar radhiallahu ‘anhu menanggapi,
“Wahai Abdurrahaman, aku bertanya kepadamu atas nama Allah, apakah Ali, Utsman,
Thalhah, az-Zubair, dan Saad yang memintamu untuk menyampaikan hal ini?” “Allahumma
na’am”, jawab Abdurrahman.
“Wahai Abdurrahman, demi Allah, aku
telah bersikap lemah lembut terhadap mereka sampai aku takut kepada Allah kalau
berlebihan dalam hal ini. Aku juga bersikap tegas kepada mereka, sampai aku
takut kepada Allah berlebihan dalam ketegasan. Lalu, bagaimana jalan keluarnya?”
Tanya Umar. Abdurrahman pun menangis. Lalu mengusapkan rida’nya menghapus titik
air mata. Ia berucap, “Lancang sekali mereka. Lancang sekali mereka”.5
Adapun bagi masyarakat yang tinggal
jauh dari Kota Madinah; seperti penduduk Irak, Syam, dll. Umar sering bertanya
tentang keadaan mereka, kemudian memenuhi kebutuhan mereka. Umar mengirim
utusannya untuk meneliti keadaan orang-orang di luar Madinah.
Terkadang, Umar juga mengadakan
kunjungan langsung. Melihat sendiri keadaan rakyat di bawah kepengurusan gubernurnya.
Umar memenuhi kebutuhan mereka dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia
berkeinginan janda-janda yang tidak memiliki orang yang menanggung merasa cukup
dengan bantuannya sehingga tidak butuh kepada laki-laki lainnya.6
Penutup
Inilah seorang pemimpin yang
memerankan kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Ia memberikan teladan dalam
perkataan dan perbuatan. Seorang yang shaleh secara pribadi dan cakap dalam
kepemimpinan.
Sesuatu yang perlu kita sadari,
pemimpin adalah kader dari masyarakatnya. Umar bin al-Khattab adalah kader dari
masyarakatnya. Dan setiap masyarakat akan mengkader pemimpin mereka sendiri.
Masyarakat yang baik akan melahirkan kader yang baik, sehingga sekumpulan
kader-kader yang baik ini akan menunjuk yang terbaik di antara mereka untuk
memimpin mereka. Dan masyarakat yang jelek akan melahirkan kader yang serba
kekurangan. Lalu mereka menunjuk pemimpin berdasarkan hawa nafsu dan
kepentingan.
(Sumber :
Nurfitri Hadi – KisahMuslim.com)
#SPUBerbagi
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment