Monday, 9 February 2015

Sahabat Ummi, perempuan yang menikah dengan laki-laki yang lebih tua, bahkan jauh lebih tua, adalah sebuah kewajaran. Lain halnya bila seorang laki-laki menikah dengan perempuan yang lebih tua. Bersiap-siaplah menerima cemooh dan tudingan yang macam-macam.
Pernikahan Anas (23) dan Latifa (45) sempat jadi omongan di antara tetangganya. Tak hanya usia, penampilan keduanya juga begitu berbeda. Anas yang berwajah bersih dan klimis tampak belia, sementara Latifa dengan kerudung sederhananya tampak sangat keibuan – karena  memang ia adalah ibu 2 anak yang seusia Anas dari perkawinannya terdahulu. Bagi yang tak mengenal mereka,tentu tak akan mengira kalau mereka adalah pasangan suami istri. Ibu dan anak, itu lebih cocok.
Bak seleb yang tengah naik daun, kemana pun mereka berdua pergi, tanpa dapat dicegah orang berbisik-bisik dan memandang penuh arti pada mereka berdua. Sebagiannya lagi malah tak sekadar berbisik, mereka berani menyindir Anas yang duduk nonton TV sambil merokok di rumah, sementara sang istri pergi bekerja. Anas memang jarang meninggalkan rumah, kecuali jika dia perlu sesuatu yang akan dimintanya pada sang istri yang bekerja di tempat yang tak jauh dari rumahnya.
Orang-orang tak terkejut ketika kemudian terdengar keduanya bercerai setelah ribut-ribut tak berkesudahan di antara keduanya. “Nah, apa kubilang…,” bisik tetangga. “Mau enaknya doang sih,” timpal yang lain.
Berbeda dengan Anas-Latifa, pasangan Amir (26) dan Rini (39) sampai sekarang terlihat baik-baik saja. Awal pernikahan mereka memang tak mulus karena banyak pihak yang menyangsikan niat pernikahan keduanya. Bagaimana tidak, Amir hanya seorang pegawai honorer di sebuah instansi pemerintah, sementara Rini sudah terbilang mapan dengan karir bagus dan jabatan tinggi di tempatnya bekerja. Pun Rini terlihat amat dominan dan bossy terhadap Amir. Kenapa Amir mau menikah dengan Rini, ya? Ada apa? Apa bisa bertahan lama?

Anggapan miring
Pandangan negatif memang kerap ditujukan pada pasangan suami istri dimana usia istri lebih tua, bahkan jauh lebih tua, daripada suami. Segala prasangka segera saja muncul, seperti apakah si laki-laki hanya sekadar numpang hidup atau akan memperoleh kemudahan-kemudahan lainnya bila ia menikahi perempuan yang jauh lebih tua itu. Pengalaman-pengalaman di sekitar pun – sebagaimana yang terjadi pada pasangan Anas dan Latifa – mengukuhkan prasangka itu.
Anggapan miring masyarakat terhadap pernikahan yang seperti itu, menurut DR Rosa Dianiari F Soe’oed, staf pengajar Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, tak terlepas dari budaya patriarki yang masih melekat kuat pada masyarakat Indonesia.
“Dalam budaya patriarki itu yang punya kekuasaan lebih itu adalah laki-laki, karena mereka dianggap memiliki sumber daya yang lebih banyak daripada perempuan. Sumber daya itu bisa pendidikan, pekerjaan, kebangsawanan. Usia saya rasa termasuk salah satu sumber daya juga,” jelas Rosa yang juga tergabung dalam Ikatan Sosiolog Indonesia ini.
Dengan usia yang lebih tua daripada istri, lanjut Rosa, seorang laki-laki dianggap sudah matang hingga ia bisa menjalankan perannya sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki tugas mengendalikan, membimbing, dan memimpin keluarga yang dibinanya. Dan yang tak boleh dilupakan juga adalah perannya sebagai breadwinner (pencari nafkah).“Secara otomatis yang memimpin itu lebih matang, lebih tua usianya. Kira-kira asumsi di masyarakat seperti itu,” imbuh doktor di bidang Sosiologi Pendidikan ini.
Nah, kalau kondisinya terbalik, dimana suami lebih muda usia dan istri lebih tua – dengan kata lain istri lah yang dianggap lebih dewasa dan lebih matang hingga sebenarnya ia berpotensi sebagai pemimpin keluarga -, sudah tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang tak lazim dalam masyarakat. Ketidaklaziman tentu saja akan memancing respon negatif dari masyarakat sekitar.
Sayangnya, alih-alih mengubah pandangan masyarakat, pada beberapa kasus pasangan-pasangan ini malah mengukuhkan anggapan itu. Bukan suami yang mencari nafkah, tapi istrilah yang berperan sebagai breadwinner, ungkap Rosa. Istri pontang-panting mencari nafkah, sementara suami bekerja sekadar saja, atau bahkan tak bekerja, merasa nyaman dengan kedewasaan dan kemandirian istri sehingga ia merasa termanjakan.
Belum lagi kasus-kasus lain yang menunjukkan ketidakharmonisan pasangan ini, semisal suami yang menikah diam-diam dengan perempuan lain yang lebih muda karena ketidakpuasan pada ‘pelayanan’ istri. Atau karena sebab-sebab lain yang berujung pada perceraian.
Sebenarnya semua masalah ini bisa terjadi pada setiap pasangan suami istri – yang istrinya lebih muda daripada suaminya, istri lebih tua daripada suaminya, istri dan suami sama usianya. Namun untuk pasangan jenis ini, yang sedari awal dianggap tak lazim, tentu pandangan masyarakat jadi lebih tajam kepada mereka dibanding kepada pasangan lainnya. Setiap gejolak rumah tangga selalu dikaitkan dengan perbedaan usia tersebut.
Keluarga sebagai lingkungan sosial yang paling dekat, mungkin adalah pihak yang paling menyangsikan pernikahan pasangan ini. Dari pihak keluarga perempuan, kata psikolog Rustika Thamrin, seorang pria yang lebih muda sebagai calon suami putri perempuan mereka mungkin  akan dipandang sebelah mata. “Apalagi bila si pemuda ini kurang mapan,” imbuh psikolog pada Yayasan Kita dan Buah Hati ini. Rasa curiga bisa timbul terhadap si pemuda, apakah ada maksud terselubung dengan pernikahan itu. Namun bisa lain ceritanya kalau ternyata si pemuda sudah hidup mapan dan mampu membiayai kehidupan keluarganya kelak.
Sementara dari keluarga pihak laki-laki pun timbul kesangsian juga terhadap calon istri putra mereka. Nggak salah nih, kayak nggak ada perempuan lain aja. Apalagi, tutur Rustika, bila si perempuan tak mapan, juga tak cantik. Ada kekecewaan-kekecewaan yang akan muncul dari keluarga besar yang pastinya mengharapkan putra mereka mendapat jodoh yang sepadan.
Dalam kultur masyarakat Indonesia, pandangan-pandangan keluarga memang tak bisa diabaikan begitu saja. “Ikatan kita masih amat kuat dan kental. Belum lagi hubungan antar tetangga yang juga dekat. Masalah-masalah bisa timbul setiap hari bila pernikahan dipaksakan sementara masing-masing pihak tidak mau mengubah diri,” ujar ibu 3 anak ini. 

Usia tak jadi kendala
Di tengah anggapan miring terhadap pasangan suami istri yang istrinya lebih tua daripada suaminya, tentu bukan berarti pernikahan keduanya sebaiknya dihindari. Perbedaan usia tak perlu lagi jadi kendala.
Memang pada dasarnya keharmonisan hidup disandarkan pada sejumlah persamaan-persamaan, seperti persamaan agama, latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. “Dalam perkawinan diharapkan, misalnya, persamaan status sosial ekonomi antar pasangan. Diharapkan seorang pangeran itu menikah dengan seorang putri misalnya,” contoh Rosa Diniari. Andai kata seorang pangeran menikahi perempuan dari kalangan rakyat biasa, bisa jadi masalah serius di samping tentu jadi bahan pembicaraan karena ketidaksetaraan itu.
Namun dalam perkembangan kehidupan sosial sekarang ini, ternyata anak-anak muda sekarang tak terlalu memperhatikan lagi persamaan-persamaan semacam itu, kata istri dari Firman Soe’oed ini. Saat ini persamaan pandangan dan pikiranlah yang jadi tolok ukur mereka dalam mencari pasangan hidup. Usia pun tidak lagi menjadi kendala berarti.
Senada, Rustika pun menambahkan bahwa tiap orang punya nilai dan punya tujuan yang ingin dicapainya. Kalau memang seseorang sudah merasa cocok, usia bukan sesuatu yang jadi hambatan. “Selama kriteria yang diperlukan dia, misalnya nomor satu keshalihannya, nomor dua pribadinya matang, nomor tiga mampu mengurus rumah tangga dan lain-lain, yah kenapa enggak untuk menikah dengannya,” urai psikolog pada RSIA Hermina Depok ini. 
Soal kematangan kepribadian sendiri, istri dari Adiwarman Karim ini menegaskan bahwa usia sebenarnya tidak jadi ukuran buat kematangan seseorang.  Bisa jadi ada orang yang usianya sudah tua, tapi ternyata sifatnya masih kekanakan dan ada orang yang usianya muda, tapi sudah bisa bersikap dewasa.
Dibanding dengan usia, kematangan itu lebih berkait dengan emosi sosial seseorang. Idealnya orang yang mau menikah sebelum itu keduanya sudah matang emosinya. “Orang yang sudah matang itu adalah orang yang sudah mengenal dirinya dengan baik, mengenal segala kekurangan dan kelebihan yang ada dalam dirinya,” kata Rustika.
Setelah mengenal dirinya dengan baik, barulah orang bisa belajar mengenali orang lain – dalam hal ini pasangan hidupnya – dengan lebih baik. Dia bisa mempelajari apa kelebihan dan kekurangan pasangan hidupnya, sehingga tahu bagaimana menghadapinya, sekaligus tahu bagaimana membahagiakannya.
Bayangkan, bila pasangan ini masing-masing punya kematangan demikian. Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah akan sangat mudah diraih dalam suasana yang kondusif seperti itu.

Timbang-timbang sebelum menikah
Yang sebenarnya paling berpengaruh disebabkan usia adalah kondisi fisik seseorang. Inilah yang harus dijadikan bahan pertimbangan sebelum memutuskan untuk menikah dengan perempuan berusia jauh lebih tua. Fungsi reproduksi punya batasan usia juga.
Pada usia sekitar 40 tahunan ke atas, perempuan mulai memasuki masa menopause yang berarti berkurangnya kesuburan, walau kemungkinan hamil masih tetap ada. Nah, perlu dipikirkan secara jernih apakah keberadaan anak tak menjadi prioritas bagi keluarga yang terbentuk ini. Risiko tidak memiliki anak sendiri bila menikah dengan perempuan berumur sekitar itu perlu dipertimbangkan. “Kalau pihak suami pasrah, tak mengapa bila Allah tak memberi keturunan padanya, dan yang terpenting baginya adalah ketenangan jiwa, insya Allah pernikahan mereka akan baik-baik saja,” cetus Rustika.
Namun, bila keberadaan anak demikian pentingnya, tak hanya bagi suami namun juga bagi keluarga besarnya, pernikahan dengan perempuan berumur itu tentu bukan langkah yang bijaksana. Mungkin malah memicu masalah demi masalah selama pernikahan mereka.
Persetujuan dengan keluarga besar hendaknya juga turut dipikirkan. Dalam kultur ketimuran, kata Rosa, sesungguhnya perkawinan sepasang suami istri bukan hanya perkawinan keduanya, namun juga perkawinan dua keluarga besar. “Keluarga bisa melakukan intervensi dalam pemilihan jodoh. Mereka merasa punya hak untuk menentukan,” lanjutnya.
Tak hanya dalam kasus pernikahan beda usia, dalam pernikahan antar pasangan sebaya pun pengaruh keluarga sangat besar. “Sering kali terjadi, suami istri tak bermasalah, namun karena campur tangan keluarga besar yang demikian kuat, rumah tangga jadi buyar,” ungkap Rustika. Tak lain dan tak bukan sebenarnya campur tangan itu adalah sebentuk kasih sayang, yang pada kasus-kasus seperti ini jadi berlebihan.
Jadi kalau memang yakin dengan keputusan untuk menikah dengan perempuan yang usianya lebih tua atau sebaliknya yakin untuk menikah dengan laki-laki yang lebih muda, proses pendekatan pada keluarga besar yang kurang mendukung niat pernikahan ini mau tak mau harus dilakukan pasangan ini. “Persiapkan strategi yang smooth untuk memberi pengertian pada keluarga,” saran Rustika. Jangan sampai perkawinan ini menjadi sumber konflik dalam keluarga yang bisa membuat goyah rumah tangga sendiri nantinya.
Nah, kalau sudah yakin dengan segala plus minusnya dan keluarga bisa diyakinkan, jalan pun terbuka untuk menikah dengan pasangan yang jaraknya usia jauh sekalipun.
(Asmawati/ wawancara: Dina dan Rosita)

0 comments:

Post a Comment