Sahabat
Ummi, perempuan yang menikah dengan laki-laki yang lebih tua, bahkan jauh lebih
tua, adalah sebuah kewajaran. Lain halnya bila seorang laki-laki menikah dengan
perempuan yang lebih tua. Bersiap-siaplah menerima cemooh dan tudingan yang
macam-macam.
Pernikahan Anas (23) dan Latifa (45)
sempat jadi omongan di antara tetangganya. Tak hanya usia, penampilan keduanya
juga begitu berbeda. Anas yang berwajah bersih dan klimis tampak belia,
sementara Latifa dengan kerudung sederhananya tampak sangat keibuan – karena
memang ia adalah ibu 2 anak yang seusia Anas dari perkawinannya
terdahulu. Bagi yang tak mengenal mereka,tentu tak akan mengira kalau mereka
adalah pasangan suami istri. Ibu dan anak, itu lebih cocok.
Bak seleb yang tengah naik daun,
kemana pun mereka berdua pergi, tanpa dapat dicegah orang berbisik-bisik dan
memandang penuh arti pada mereka berdua. Sebagiannya lagi malah tak sekadar
berbisik, mereka berani menyindir Anas yang duduk nonton TV sambil merokok di
rumah, sementara sang istri pergi bekerja. Anas memang jarang meninggalkan
rumah, kecuali jika dia perlu sesuatu yang akan dimintanya pada sang istri yang
bekerja di tempat yang tak jauh dari rumahnya.
Orang-orang tak terkejut ketika
kemudian terdengar keduanya bercerai setelah ribut-ribut tak berkesudahan di
antara keduanya. “Nah, apa kubilang…,” bisik tetangga. “Mau enaknya doang sih,”
timpal yang lain.
Berbeda dengan Anas-Latifa, pasangan
Amir (26) dan Rini (39) sampai sekarang terlihat baik-baik saja. Awal
pernikahan mereka memang tak mulus karena banyak pihak yang menyangsikan niat
pernikahan keduanya. Bagaimana tidak, Amir hanya seorang pegawai honorer di
sebuah instansi pemerintah, sementara Rini sudah terbilang mapan dengan karir
bagus dan jabatan tinggi di tempatnya bekerja. Pun Rini terlihat amat dominan
dan bossy terhadap Amir. Kenapa Amir mau menikah dengan Rini, ya? Ada
apa? Apa bisa bertahan lama?
Anggapan miring
Pandangan negatif memang kerap
ditujukan pada pasangan suami istri dimana usia istri lebih tua, bahkan jauh
lebih tua, daripada suami. Segala prasangka segera saja muncul, seperti apakah
si laki-laki hanya sekadar numpang hidup atau akan memperoleh
kemudahan-kemudahan lainnya bila ia menikahi perempuan yang jauh lebih tua itu.
Pengalaman-pengalaman di sekitar pun – sebagaimana yang terjadi pada pasangan
Anas dan Latifa – mengukuhkan prasangka itu.
Anggapan miring masyarakat terhadap
pernikahan yang seperti itu, menurut DR Rosa Dianiari F Soe’oed, staf
pengajar Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, tak terlepas dari budaya patriarki yang masih melekat kuat pada
masyarakat Indonesia.
“Dalam budaya patriarki itu yang
punya kekuasaan lebih itu adalah laki-laki, karena mereka dianggap memiliki
sumber daya yang lebih banyak daripada perempuan. Sumber daya itu bisa
pendidikan, pekerjaan, kebangsawanan. Usia saya rasa termasuk salah satu sumber
daya juga,” jelas Rosa yang juga tergabung dalam Ikatan Sosiolog Indonesia ini.
Dengan usia yang lebih tua daripada
istri, lanjut Rosa, seorang laki-laki dianggap sudah matang hingga ia bisa
menjalankan perannya sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki tugas
mengendalikan, membimbing, dan memimpin keluarga yang dibinanya. Dan yang tak
boleh dilupakan juga adalah perannya sebagai breadwinner (pencari
nafkah).“Secara otomatis yang memimpin itu lebih matang, lebih tua usianya.
Kira-kira asumsi di masyarakat seperti itu,” imbuh doktor di bidang Sosiologi
Pendidikan ini.
Nah, kalau kondisinya terbalik,
dimana suami lebih muda usia dan istri lebih tua – dengan kata lain istri lah
yang dianggap lebih dewasa dan lebih matang hingga sebenarnya ia berpotensi
sebagai pemimpin keluarga -, sudah tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang
tak lazim dalam masyarakat. Ketidaklaziman tentu saja akan memancing respon
negatif dari masyarakat sekitar.
Sayangnya, alih-alih mengubah
pandangan masyarakat, pada beberapa kasus pasangan-pasangan ini malah
mengukuhkan anggapan itu. Bukan suami yang mencari nafkah, tapi istrilah yang
berperan sebagai breadwinner, ungkap Rosa. Istri pontang-panting mencari
nafkah, sementara suami bekerja sekadar saja, atau bahkan tak bekerja, merasa
nyaman dengan kedewasaan dan kemandirian istri sehingga ia merasa termanjakan.
Belum lagi kasus-kasus lain yang
menunjukkan ketidakharmonisan pasangan ini, semisal suami yang menikah diam-diam
dengan perempuan lain yang lebih muda karena ketidakpuasan pada ‘pelayanan’
istri. Atau karena sebab-sebab lain yang berujung pada perceraian.
Sebenarnya semua masalah ini bisa
terjadi pada setiap pasangan suami istri – yang istrinya lebih muda daripada
suaminya, istri lebih tua daripada suaminya, istri dan suami sama usianya.
Namun untuk pasangan jenis ini, yang sedari awal dianggap tak lazim, tentu
pandangan masyarakat jadi lebih tajam kepada mereka dibanding kepada pasangan
lainnya. Setiap gejolak rumah tangga selalu dikaitkan dengan perbedaan usia
tersebut.
Keluarga sebagai lingkungan sosial
yang paling dekat, mungkin adalah pihak yang paling menyangsikan pernikahan
pasangan ini. Dari pihak keluarga perempuan, kata psikolog Rustika Thamrin,
seorang pria yang lebih muda sebagai calon suami putri perempuan mereka mungkin
akan dipandang sebelah mata. “Apalagi bila si pemuda ini kurang mapan,”
imbuh psikolog pada Yayasan Kita dan Buah Hati ini. Rasa curiga bisa timbul
terhadap si pemuda, apakah ada maksud terselubung dengan pernikahan itu. Namun
bisa lain ceritanya kalau ternyata si pemuda sudah hidup mapan dan mampu
membiayai kehidupan keluarganya kelak.
Sementara dari keluarga pihak
laki-laki pun timbul kesangsian juga terhadap calon istri putra mereka. Nggak
salah nih, kayak nggak ada perempuan lain aja. Apalagi, tutur Rustika, bila
si perempuan tak mapan, juga tak cantik. Ada kekecewaan-kekecewaan yang akan
muncul dari keluarga besar yang pastinya mengharapkan putra mereka mendapat
jodoh yang sepadan.
Dalam kultur masyarakat Indonesia,
pandangan-pandangan keluarga memang tak bisa diabaikan begitu saja. “Ikatan
kita masih amat kuat dan kental. Belum lagi hubungan antar tetangga yang juga
dekat. Masalah-masalah bisa timbul setiap hari bila pernikahan dipaksakan
sementara masing-masing pihak tidak mau mengubah diri,” ujar ibu 3 anak
ini.
Usia tak jadi kendala
Di tengah anggapan miring terhadap
pasangan suami istri yang istrinya lebih tua daripada suaminya, tentu bukan
berarti pernikahan keduanya sebaiknya dihindari. Perbedaan usia tak perlu lagi
jadi kendala.
Memang pada dasarnya keharmonisan
hidup disandarkan pada sejumlah persamaan-persamaan, seperti persamaan agama,
latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. “Dalam perkawinan diharapkan, misalnya,
persamaan status sosial ekonomi antar pasangan. Diharapkan seorang pangeran itu
menikah dengan seorang putri misalnya,” contoh Rosa Diniari. Andai kata seorang
pangeran menikahi perempuan dari kalangan rakyat biasa, bisa jadi masalah
serius di samping tentu jadi bahan pembicaraan karena ketidaksetaraan itu.
Namun dalam perkembangan kehidupan
sosial sekarang ini, ternyata anak-anak muda sekarang tak terlalu memperhatikan
lagi persamaan-persamaan semacam itu, kata istri dari Firman Soe’oed ini. Saat
ini persamaan pandangan dan pikiranlah yang jadi tolok ukur mereka dalam
mencari pasangan hidup. Usia pun tidak lagi menjadi kendala berarti.
Senada, Rustika pun menambahkan
bahwa tiap orang punya nilai dan punya tujuan yang ingin dicapainya. Kalau
memang seseorang sudah merasa cocok, usia bukan sesuatu yang jadi hambatan.
“Selama kriteria yang diperlukan dia, misalnya nomor satu keshalihannya, nomor
dua pribadinya matang, nomor tiga mampu mengurus rumah tangga dan lain-lain,
yah kenapa enggak untuk menikah dengannya,” urai psikolog pada RSIA Hermina
Depok ini.
Soal kematangan kepribadian sendiri,
istri dari Adiwarman Karim ini menegaskan bahwa usia sebenarnya tidak jadi
ukuran buat kematangan seseorang. Bisa jadi ada orang yang usianya sudah
tua, tapi ternyata sifatnya masih kekanakan dan ada orang yang usianya muda,
tapi sudah bisa bersikap dewasa.
Dibanding dengan usia, kematangan
itu lebih berkait dengan emosi sosial seseorang. Idealnya orang yang mau
menikah sebelum itu keduanya sudah matang emosinya. “Orang yang sudah matang
itu adalah orang yang sudah mengenal dirinya dengan baik, mengenal segala
kekurangan dan kelebihan yang ada dalam dirinya,” kata Rustika.
Setelah mengenal dirinya dengan
baik, barulah orang bisa belajar mengenali orang lain – dalam hal ini pasangan
hidupnya – dengan lebih baik. Dia bisa mempelajari apa kelebihan dan kekurangan
pasangan hidupnya, sehingga tahu bagaimana menghadapinya, sekaligus tahu
bagaimana membahagiakannya.
Bayangkan, bila pasangan ini
masing-masing punya kematangan demikian. Keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah akan sangat mudah diraih dalam suasana yang kondusif seperti itu.
Timbang-timbang sebelum menikah
Yang sebenarnya paling berpengaruh
disebabkan usia adalah kondisi fisik seseorang. Inilah yang harus dijadikan
bahan pertimbangan sebelum memutuskan untuk menikah dengan perempuan berusia
jauh lebih tua. Fungsi reproduksi punya batasan usia juga.
Pada usia sekitar 40 tahunan ke
atas, perempuan mulai memasuki masa menopause yang berarti berkurangnya
kesuburan, walau kemungkinan hamil masih tetap ada. Nah, perlu dipikirkan
secara jernih apakah keberadaan anak tak menjadi prioritas bagi keluarga yang
terbentuk ini. Risiko tidak memiliki anak sendiri bila menikah dengan perempuan
berumur sekitar itu perlu dipertimbangkan. “Kalau pihak suami pasrah, tak
mengapa bila Allah tak memberi keturunan padanya, dan yang terpenting baginya
adalah ketenangan jiwa, insya Allah pernikahan mereka akan baik-baik saja,”
cetus Rustika.
Namun, bila keberadaan anak demikian
pentingnya, tak hanya bagi suami namun juga bagi keluarga besarnya, pernikahan
dengan perempuan berumur itu tentu bukan langkah yang bijaksana. Mungkin malah
memicu masalah demi masalah selama pernikahan mereka.
Persetujuan dengan keluarga besar
hendaknya juga turut dipikirkan. Dalam kultur ketimuran, kata Rosa,
sesungguhnya perkawinan sepasang suami istri bukan hanya perkawinan keduanya,
namun juga perkawinan dua keluarga besar. “Keluarga bisa melakukan intervensi
dalam pemilihan jodoh. Mereka merasa punya hak untuk menentukan,” lanjutnya.
Tak hanya dalam kasus pernikahan
beda usia, dalam pernikahan antar pasangan sebaya pun pengaruh keluarga sangat
besar. “Sering kali terjadi, suami istri tak bermasalah, namun karena campur
tangan keluarga besar yang demikian kuat, rumah tangga jadi buyar,” ungkap
Rustika. Tak lain dan tak bukan sebenarnya campur tangan itu adalah sebentuk
kasih sayang, yang pada kasus-kasus seperti ini jadi berlebihan.
Jadi kalau memang yakin dengan
keputusan untuk menikah dengan perempuan yang usianya lebih tua atau sebaliknya
yakin untuk menikah dengan laki-laki yang lebih muda, proses pendekatan pada
keluarga besar yang kurang mendukung niat pernikahan ini mau tak mau harus
dilakukan pasangan ini. “Persiapkan strategi yang smooth untuk memberi pengertian
pada keluarga,” saran Rustika. Jangan sampai perkawinan ini menjadi sumber
konflik dalam keluarga yang bisa membuat goyah rumah tangga sendiri nantinya.
Nah, kalau sudah yakin dengan segala
plus minusnya dan keluarga bisa diyakinkan, jalan pun terbuka untuk menikah
dengan pasangan yang jaraknya usia jauh sekalipun.
(Asmawati/ wawancara: Dina dan Rosita)
0 comments:
Post a Comment