Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshari ra. berkata, ada
seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Jika aku shalat lima
waktu, berpuasa Ramadlan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
Lalu aku tidak menambah selain amalan itu. Apakah aku masuk surga?” Beliau
menjawab: “Ya.” (HR Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Mengharamkan yang haram artinya menjauhinya, dan menghalalkan yang halal artinya melakukannya dengan meyakini kehalalannya.”
Imam Nawawi berkata, “Mengharamkan yang haram artinya menjauhinya, dan menghalalkan yang halal artinya melakukannya dengan meyakini kehalalannya.”
URGENSI HADITS
Al Jurdani berkata, “Hadits ini
mempunyai kedudukan yang tinggi dan merupakan siklus ajaran Islam. Karena pada
dasarnya, amal perbuatan meliputi perbuatan hati dan perbuatan anggota badan.
Perbuatan-perbuatan ini, hanya ada dua kemungkinan, dibolehkan [halal] atau
dilarang [haram]. Jika seseorang telah melaksanakan yang halal dan menghindari
yang haram, maka ia telah melaksanakan semua tugas dalam agama dan akan masuk
surga.
KANDUNGAN HADITS
1. Rasulullah saw. adalah Rahmat
bagi alam semesta.
Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta. Menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mengajak untuk menapaki jalan hidayah yang bisa mengantarkan ke surga. Jalan menuju surga adalah jalan yang jelas dan mudah. Allah swt. telah menetapkan berbagai rambu-rambu di dalamnya. Barangsiapa yang komitmen dengan rambu-rambu tersebut maka ia akan sampai tujuan. Namun barangsiapa yang melanggar aturan-aturan yang ada maka ia akan sesat. Rambu-rambu tersebut tentunya sesuai dengan kemampuan manusia, karena Allah swt. menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan. Ini semua dapat dipahami secara jelas dalam hadits di atas.
Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta. Menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mengajak untuk menapaki jalan hidayah yang bisa mengantarkan ke surga. Jalan menuju surga adalah jalan yang jelas dan mudah. Allah swt. telah menetapkan berbagai rambu-rambu di dalamnya. Barangsiapa yang komitmen dengan rambu-rambu tersebut maka ia akan sampai tujuan. Namun barangsiapa yang melanggar aturan-aturan yang ada maka ia akan sesat. Rambu-rambu tersebut tentunya sesuai dengan kemampuan manusia, karena Allah swt. menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan. Ini semua dapat dipahami secara jelas dalam hadits di atas.
2. Merindukan surga.
Dalam hadits tersebut kita bisa melihat betapa kesungguhan Nu’man untuk mendapatkan surga, dengan berusaha mengetahui berbagai amalan yang bisa mengantarkannya ke surga.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh para shahabat nabi. Tentu dengan cara yang berbeda-beda. Namun kesemuanya menunjukkan betapa mereka merindukan surga. Berikut ini beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut:
Dalam hadits tersebut kita bisa melihat betapa kesungguhan Nu’man untuk mendapatkan surga, dengan berusaha mengetahui berbagai amalan yang bisa mengantarkannya ke surga.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh para shahabat nabi. Tentu dengan cara yang berbeda-beda. Namun kesemuanya menunjukkan betapa mereka merindukan surga. Berikut ini beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut:
a. Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Abu Ayub al-Anshary bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw.
“Tunjukanlah kepadaku suatu perbuatan yang bisa memasukkanku ke surga.”
Rasulullah saw. menjawab: “Beribadahlah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya
sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahim.”
b. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.
c. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah disebutkan, “Puasa Ramadhan” dan tidak disebut “silaturahim.”
d. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muntafiq ra. ia berkata: saya datang kepada Rasulullah saw. pada saat itu beliau di padang Arafah, lalu saya bertanya: “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa menyelamatkan aku dari api neraka dan memasukkan aku ke surga?” Rasulullah saw. menjawab: “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna yang luas. Karenanya dengarlah baik-baik. Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya sedikitpun, tegakkanlah shalat wajib, tunaikanlah zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain yang baik.”
b. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.
c. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah disebutkan, “Puasa Ramadhan” dan tidak disebut “silaturahim.”
d. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muntafiq ra. ia berkata: saya datang kepada Rasulullah saw. pada saat itu beliau di padang Arafah, lalu saya bertanya: “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa menyelamatkan aku dari api neraka dan memasukkan aku ke surga?” Rasulullah saw. menjawab: “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna yang luas. Karenanya dengarlah baik-baik. Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya sedikitpun, tegakkanlah shalat wajib, tunaikanlah zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain yang baik.”
3. Komitmen terhadap berbagai
kewajiban dan larangan adalah kunci keselamatan.
Dalam hadits di atas Nu’man bertanya perihal dirinya. Jika ia senantiasa mengerjakan shalat wajib yang tertera dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya.” (an-Nisaa’: 103), melakukan puasa bulan Ramadlan yang diwajibkan dengan firman-Nya: “..[beberapa hari yang ditentukan itu ialah] bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan [permulaan] al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk ini dan pembeda [antara yang hak dan yang batil]. Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] di bulan itu.” (al-Baqarah: 185),
Dalam hadits di atas Nu’man bertanya perihal dirinya. Jika ia senantiasa mengerjakan shalat wajib yang tertera dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya.” (an-Nisaa’: 103), melakukan puasa bulan Ramadlan yang diwajibkan dengan firman-Nya: “..[beberapa hari yang ditentukan itu ialah] bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan [permulaan] al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk ini dan pembeda [antara yang hak dan yang batil]. Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] di bulan itu.” (al-Baqarah: 185),
Dan meninggalkan semua yang dilarang
dan melakukan yang diwajibkan, tanpa ditambah dengan perbuatan sunah
sedikitpun, apakah bisa membawanya ke surga tanpa harus melalui siksa di
neraka? Rasulullah lalu menjawab dengan jawaban yang dapat menenangkan dan
menyenangkan hatinya. “Ya.” Artinya apa yang telah disebutkan sudah cukup
baginya untuk mendapatkan surga. Bagaimana tidak? Sementara Rasulullah sendiri
telah menyampaikan firman Allah dalam hadits Qudsinya, “Hamba-hamba-Ku mendekat
kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan kepada mereka.” (HR Bukhari)
Ditambah lagi dengan firman-Nya
dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan orang-orang yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (at-Taubah: 112)
An-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba
melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat dan manjauhi
tujuh dosa besar, melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang bisa
dimasuki yang mana dikehendaki.” Kemudian beliau membacakan ayat yang artinya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu [dosa-dosamu yang
kecil] dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia [surga].” (an-Nisaa’: 31)
Adapun tujuh dosa besar itu adalah:
zina, minum minuman keras, sihir, menuduh orang baik melakukan zina, membunuh
dengan sengaja, riba dan lari dari medan perang.
Ada yang menyebutkan dosa-dosa besar selain ketujuh dosa tersebut.
Ada yang menyebutkan dosa-dosa besar selain ketujuh dosa tersebut.
4. Agama ini adalah mudah
Sikap Rasulullah saw. di atas, dan dalam berbagai sikap lainnya, menunjukkan kemudahan Islam dan bahwa Allah swt. tidak membebani hamba-Nya dengan beban yang berat. Firman Allah yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Semua kewajiban dan syariat dalam Islam bersifat mudah dan sesuai dengan kemampuan manusia, karena kewajiban tersebut datang dari Dzat Yang Mahabijaksana dan Mahatahu. Manusia yang berakal, tidak ada pilihan lain kecuali mendengar dan menaatinya agar bahagia di dunia dan akhirat.
Sikap Rasulullah saw. di atas, dan dalam berbagai sikap lainnya, menunjukkan kemudahan Islam dan bahwa Allah swt. tidak membebani hamba-Nya dengan beban yang berat. Firman Allah yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Semua kewajiban dan syariat dalam Islam bersifat mudah dan sesuai dengan kemampuan manusia, karena kewajiban tersebut datang dari Dzat Yang Mahabijaksana dan Mahatahu. Manusia yang berakal, tidak ada pilihan lain kecuali mendengar dan menaatinya agar bahagia di dunia dan akhirat.
5. Kejujuran seorang muslim.
Nu’man ra. adalah contoh seorang muslim yang jujur dan berterus terang. Ia tidak berpura-pura takwa dan shalih. Tetapi ia menyatakan dengan kejujurannya bahwa ia adalah manusia yang menginginkan keselamatan dan keberuntungan. Dia menyatakan siap melaksanakan apa saja yang akan dinasehatkan kepadanya.
Nu’man ra. adalah contoh seorang muslim yang jujur dan berterus terang. Ia tidak berpura-pura takwa dan shalih. Tetapi ia menyatakan dengan kejujurannya bahwa ia adalah manusia yang menginginkan keselamatan dan keberuntungan. Dia menyatakan siap melaksanakan apa saja yang akan dinasehatkan kepadanya.
Kejujuran Nu’man ini semakin jelas
terlihat, dalam ucapannya [dalam riwayat lain], “Demi Allah, saya tidak akan
menambah dari perbuatan-perbuatan itu sedikitpun,” setelah mendengarkan jawaban
Rasulullah saw. bahwa apa yang telah ia sebutkan cukup untuk mendapatkan surga.
Kewajiban yang telah ditetapkan Allah ini akan mudah dilaksanakan oleh
orang-orang yang beriman, tetapi terasa berat dan susah bagi orang-orang yang
sudah ditutup hatinya.
Allah berfirman yang artinya:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, [yaitu] orang-orang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
(al-Baqarah: 45-46)
Sikap jujur dan terus terang ini
juga sering ditampakkan oleh mereka yang hatinya didominasi oleh keimanan,
jiwanya dipenuhi keyakinan dan tidak memiliki sedikitpun keraguan atau pun
nifaq. Mereka yang tidak pernah memandang remeh syariat Allah swt. Sikap-sikap
seperti Nu’man dan jawaban senada yang diberikan Rasulullah banyak terdapat
dalam hadits Nabi saw.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan
bahwa seorang laki-laki Badui (Dhamam bin Tsa’labah) datang kepada Rasulullah
saw. dan bertanya tentang kewajiban shalat. Beliau menjawab: “Lima.” Ia
bertanya, “Apakah ada shalat wajib lain?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika
kamu ingin melakukan yang sunnah, dan tidak akan mengurangi yang wajib
sedikitpun.” Ia berkata, “Demi Allah, saya tidak akan melakukan yang sunah, dan
tidak akan mengurangi yang wajib sedikitpun.” Beliau bersabda, “Ia akan
beruntung jika jujur.” Riwayat Muslim menyebutkan, “Jika ia melaksanakan yang
diperintahkan niscaya ia akan masuk surga.” Dalam Bukhari dan Muslim disebutkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat penduduk surga,
maka lihatlah orang ini.”
6. Zakat dan Haji merupakan
Kewajiban.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Ia memiliki urgensi tersendiri dalam Islam. Allah swt. berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdoalah untuk mereka. sesungguhnya doa kamu itu [menjadi] ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Ia memiliki urgensi tersendiri dalam Islam. Allah swt. berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdoalah untuk mereka. sesungguhnya doa kamu itu [menjadi] ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Mu’adz ketika hendak mengutusnya ke Yaman,
“Katakanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat terhadap mereka,
diambil dari orang yang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang
fakir di antara mereka.”
Demikian halnya haji, Allah swt.
berfirman yang artinya: “Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
[bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak
memerlukan sesuatu] dari semesta alam.” (Ali ‘Imraan: 97)
Rasulullah bersabda: “Wahai manusia,
telah diwajibkan bagi kalian ibadah haji, maka berhajilah.” (HR Muslim)
Dengan demikian, komitmen terhadap
dua rukun ini adalah satu kewajiban dan merupakan syarat terpenting agar
selamat dari neraka dan masuk surga. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
hadits, bahwa Ibnul Muntafiq bertanya kepada Rasulullah saw. perihal perbuatan
yang bisa membawa ke surga, maka Rasulullah saw. menjawab: “Bertakwalah kepada
Allah dan janganlah menyekutukan-Nya sedikitpun, menegakkan shalat, membayar
zakat, melaksanakan ibadah haji dan puasa Ramadlan.” (HR Ahmad)
Nu’man tidak menyebutkan secara
spesifik, sebagaimana ia menyebutkan shalat dan puasa. Dimungkinkan, karena
saat Nu’man bertanya, zakat dan haji belum diwajibkan. Atau karena Nu’man
memang tidak diwajibkan melaksanakan dua ibadah itu sebab tidak mampu
menunaikannya. Bisa juga, karena haji dan zakat sudah masuk dalam ucapan,
“Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.” Karena ucapan ini
mencakup semua kewajiban yang ada. Bagaimanapun haji dan zakat adalah sesuatu
yang halal dan wajib dilakukan dan haram ditinggalkan.
7. Urgensi shalat dan Puasa.
a. Shalat.
Penanya di atas menanyakan perihal shalat wajib. Ini menunjukkan secara jelas bahwa shalat adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa para shahabat, sesuatu yang mereka pandang penting. Ini tidak lain karena shalat adalah tiang agama dan tanda bagi seorang muslim. Ia menunaikan lima kali dalam sehari semalam dengan menjaga semua rukun, syarat, sunah dan adab-adabnya.
Penanya di atas menanyakan perihal shalat wajib. Ini menunjukkan secara jelas bahwa shalat adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa para shahabat, sesuatu yang mereka pandang penting. Ini tidak lain karena shalat adalah tiang agama dan tanda bagi seorang muslim. Ia menunaikan lima kali dalam sehari semalam dengan menjaga semua rukun, syarat, sunah dan adab-adabnya.
Rasulullah saw. bersabda: “Puncak
dari perkara ini adalah Islam, barangsiapa yang masuk Islam maka ia akan
selamat, tiang dari Islam adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fii
sabilillah.” (HR Thabrani)
“Barangsiapa yang shalat seperti
kami, menghadap kiblat kami, makan sembelihan kami, maka dialah orang muslim
yang menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)
“Tidak ada agama bagi orang yang
tidak shalat, karena kedudukan shalat bagi agama sebagaimana kedudukan kepala
bagi badan.” (HR Thabrani)
Hukum meninggalkan shalat.
Banyak hadits-hadits yang memberi ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, dan menyatakan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran atau mengarah pada kekufuran:
Banyak hadits-hadits yang memberi ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, dan menyatakan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran atau mengarah pada kekufuran:
“Antara seorang muslim dengan
kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim)
“Perjanjian antara kami dengan
mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh telah
kafir.” (HR Ahmad)
Abdullah bin Syaqiiq al-Aqly
menyatakan bahwa para shahabat ra. tidak melihat satupun perbuatan yang apabila
ditinggalkan menjadi kafir, kecuali shalat.” (HR Tirmidzi dan Hakim)
Melalui berbagai nash tersebut, kita
dapat mengetahui hukum bagi orang yang meninggalkan shalat. Namun, demikian
juga sangat tergantung faktor yang menyebabkan ia meninggalkan shalat.
Jika meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya, juga tidak mengakui bahwa shalat adalah salah satu
ibadah yang fundamental dalam Islam, maka ia adalah kafir dan murtad
[sebagaimana ijma para ulama]. Meskipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat,
mengklaim bahwa dirinya muslim serta melakukan amalan-amalan yang lain.
Orang seperti ini perlu diminta
untuk segera bertaubat dan meralat keyakinan dan ucapannya. Jika tidak mau
bertobat, maka dijatuhi hukuman mati [hukuman bagi orang yang murtad]. Tidak
dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dikuburkan di pemakaman Islam dan juga
tidak saling mewarisi di antara dia dan keluarganya.
Jika meninggalkan shalat karena
malas dan tetap meyakini bahwa shalat adalah wajib, maka menurut kesepakatan
para imam fiqih orang seperti ini adalah fasik. Para ulama kemudian berbeda
pendapat dalam memperlakukan orang tersebut.
Abu Hanifah dan pengikutnya
berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas, dipernjarakan
dan diberi hukuman cambuk hingga ia mau melakukan shalat. Jika tetap tidak mau
shalat, ia tetap ditahan agar tidak menjadi contoh buruk bagi masyarakat, atau
menjadi pemicu untuk meremehkan syiar-syiar Islam.
Adapun Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad
berpendapat bahwa orang seperti ini diminta untuk bertaubat. Jika tetap tidak
mau taubat dan tidak mau shalat maka diibunuh. Namun demikian, menurut Imam
Syafi’i dan Imam Malik ia dibunuh sebagai hukuman, jadi tetap dimandikan,
dikafankan, dishalatkan, dan dikubur di pemakaman Islam. Sedangkan Imam Ahmad
berpendapat bahwa orang seperti ini dibunuh karena kufur, maka harus
diperlakukan seperti orang yang murtad. Pendapat Imam Ahmad ini senada dengan
pendapat beberapa shahabat, di antaranya : Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Mu’adz
bin Jabal ra., dan banyak juga tabi’in yang berpendapat seperti ini.
b. Puasa.
Puasa menempati urutan kedua setelah shalat. Meskipun demikian bukan berarti memiliki tingkat kewajiban yang lebih kecil dari shalat. Para ulama sepakat bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam dan sesuatu yang fundamental dalam Islam.
Banyak hadits [dalam pembahasan sebelumnya] yang menunjukkan hal tersebut, karena itulah Nu’man secara spesifik menyebutkannya setelah shalat. Jika shalat selalu berulang lima kali sehari dalam kehidupan seorang Muslim, maka puasa hanya cukup dilaksanakan setahun sekali selama sebulan. Saat itu seseorang muslim menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, melatih diri terhadap akhlak-akhlak yang terpuji, diantaranya: kesabaran, kemauan yang kuat, membersihkan diri dari belenggu syahwat dan materi, turut merasakan penderitaan orang-orang yang tidak mampu sehingga akan tumbuh sikap untuk selalu membantu, dengan demikian akan tercipta persamaan dan keadilan.
Puasa menempati urutan kedua setelah shalat. Meskipun demikian bukan berarti memiliki tingkat kewajiban yang lebih kecil dari shalat. Para ulama sepakat bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam dan sesuatu yang fundamental dalam Islam.
Banyak hadits [dalam pembahasan sebelumnya] yang menunjukkan hal tersebut, karena itulah Nu’man secara spesifik menyebutkannya setelah shalat. Jika shalat selalu berulang lima kali sehari dalam kehidupan seorang Muslim, maka puasa hanya cukup dilaksanakan setahun sekali selama sebulan. Saat itu seseorang muslim menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, melatih diri terhadap akhlak-akhlak yang terpuji, diantaranya: kesabaran, kemauan yang kuat, membersihkan diri dari belenggu syahwat dan materi, turut merasakan penderitaan orang-orang yang tidak mampu sehingga akan tumbuh sikap untuk selalu membantu, dengan demikian akan tercipta persamaan dan keadilan.
Karena itu puasa layak disebut oleh
sebuah hadits qudsi: “Semua perbuatan anak Adam adalah untuk dirinya sendiri,
kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah milik-Ku dan Aku akan memberi pahala
orang yang berpuasa sekehendak-Ku. Sedang puasa sendiri adalah benteng.” (HR
Muslim)
Puasa memang benteng dari segala
maksiat dan benteng dari api neraka serta sarana untuk menghapus berbagai dosa
dan jalan menuju surga. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang puasa
Ramadlan karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosanya akan diampuni.” (HR
Bukhari)
Diriwayatkan bahwa Abu Umamah ra.
datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Perintahkan kepadaku satu amalan
yang bisa membawaku ke surga.” Beliau menjawab: “Puasalah, sesungguhnya puasa
itu tidak ada tandingannya.” Kemudian ia datang lagi. Beliaupun berkata,
“Berpuasalah.” (HR Ahmad)
Para ulama sepakat bahwa orang yang
meninggalkan puasa karena tidak mengakui kewajibannya adalah kafir dan murtad
dari Islam. Mereka ini diperlakukan seperti orang yang murtad. Mengingat
banyaknya nash yang jelas-jelas menyatakan bahwa puasa adalah wajib.
Adapun orang yang meninggalkan puasa
karena meremehkan, dan tanpa ada halangan syar’i yang membolehkannya ia
meninggalkan puasa, maka orang seperti ini adalah fasik, bisa juga diragukan
keislamannya. Sikap meremehkan seperti ini dapat membawa kepada kekufuran.
Abbas ra. meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Tali dan pondasi Islam ada tiga. Islam tegak di atas
ketiganya. Barangsiapa yang meninggalkan salah satunya, maka ia adalah kafir
dan halal darahnya. Ketiganya adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah,
shalat wajib dan puasa Ramadlan.” (HR Abu Ya’la dan ad-Dailamy).
Adapun orang yang berbuka [sebelum waktunya] maka ia ditahan, tidak boleh makan dan minum di siang hari hingga usai bulan Ramadlan.
Adapun orang yang berbuka [sebelum waktunya] maka ia ditahan, tidak boleh makan dan minum di siang hari hingga usai bulan Ramadlan.
8. Tingkatan-tingkatan Ibadah
Iman adalah dasar kesempurnaan.
Karena pada dasarnya untuk bisa masuk surga sangat tergantung dengan keimanan
dan tauhid, bukan pada yang lain. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, para
Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Malaikat-malaikat-Nya, hari akhir serta qadla dan
qadar, lalu mati dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun, maka ia dipastikan
masuk surga.
Adapun meninggalkan kewajiban dan
melanggar larangan hanyalah menghalangi seseorang masuk surga tanpa disiksa
dulu. Artinya orang yang tidak melakukan kewajiban dan melanggar larangan akan
terlebih dahulu disiksa sebelum masuk surga, sebagai balasan dari perbuatan
yang telah dilakukan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’
kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, melainkan ia akan masuk surga.” (HR
Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa yang bersaksi tiada
Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, Isa adalah hamba dan utusan-Nya [yang diciptakan dengan]
kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam [dengan tiupan] ruh dari-Nya,
dan surga adalah benar adanya, neraka benar adanya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga, apapun amalan yang dilakukan.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Karena itu, melakukan kewajiban dan
meninggalkan larangan adalah suatu yang bisa menghindarkan seseorang dari api
neraka. karena dasar dalam beribadah kepada Allah adalah menjaga kewajiban dan
meinggalkan larangan. Barangsiapa yang melakukan hal ini, maka ia benar-benar
beruntung. Dari Amru bin Murrah al-Hahmy, ia berkata bahwa seseorang datang
kepada Nabi saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, dan bahwa engkau adalah Rasullullah, lalu saya shalat lima waktu,
menunaikan zakat dari hartaku, puasa di bulan Ramadlan.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan bersama dengan para nabi, shidiqin dan orang-orang yang mati syahid, pada hari kiamat, selama ia tidak durhaka terhadap kedua orang tuanya.” (HR Ahmad)
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan bersama dengan para nabi, shidiqin dan orang-orang yang mati syahid, pada hari kiamat, selama ia tidak durhaka terhadap kedua orang tuanya.” (HR Ahmad)
Dari sini kita pahami bahwa
pelaksanaan amalan-amalan sunnah adalah tambahan untuk semakin dekat dengan
Allah. Seorang muslim boleh meninggalkan amalan-amalan tersebut, demikian juga
masalah-masalah yang bersifat mubah dan makruh. Ini jika dilakukan secara
individu. Namun jika amalan-amalan sunnah tersebut ditinggalkan secara massal,
misalnya jika penduduk salah satu perkampungan ramai-ramai meninggalkan amalan
sunnah, maka menurut para ulama, mereka harus diperangi, sehingga mereka
kembali melaksanakannya. Ini dilakukan karena seakan-akan telah menolak amalan
sunnah tersebut.
Demikian halnya, jika seseorang
[bukan massal] meninggalkan amalan sunnah menganggap remeh amalan tersebut atau
mengingkari keutamaan dan pensyariatannya, maka dia dianggap kufur dan murtad.
Orang seperti ini diharuskan bertobat dan dipaksa melaksanakan amalan sunnah.
Adapun orang yang meninggalkannya
karena malas, namun tetap meyakini masyu’iyahnya maka akan menyebabkan harga
dirinya jatuh. Bahkan masuk dalam kategori fasik, karena hal itu menunjukkan
sikap meremehkan agama dan berbagai syiarnya. Di samping itu jika meninggalkan amalan-amalan
sunnah seseorang muslim akan kehilangan pahala yang besar. Bagaimanapun,
disyariatkannya amalan-amalan sunnah adalah untuk melengkapi berbagai amalan
wajib yang kadang dilaksanakan secara tidak sempurna.
Seorang muslim yang menginginkan
selamat dan benar-benar ingin mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt,
tidak akan meninggalkan amalan sunnah dan juga tidak akan mendekati perbuatan
yang makruh. Seakan ia tidak membedakan dalam perintah antara wajib, sunnah,
dan mubah atau dalam larangan antara haram dan makruh.
Demikianlah kondisi para shahabat
nabi saw. mereka tidak membeda-bedakan apa yang telah diperintahkan ataupun apa
yang dilarang. Mereka senantiasa komitmen dengan firman Allah swt, yang
artinya: “Apapun yang diperintahkan Rasulullah kepadamu maka ambillah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Ini semua dilakukan karena mereka ingin untuk mendapatkan pahala, rahmat dan keridlaan Allah.
Ini semua dilakukan karena mereka ingin untuk mendapatkan pahala, rahmat dan keridlaan Allah.
Demikian halnya para tabi’in,
orang-orang yang mengikuti jejak mereka, para shalafush shalih dan para tokoh
ulama. Sedangkan para fuqaha, ketika menjelaskan macam-macam hukum syar’i
[wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh], hanyalah untuk membedakan amalan
perbuatan, apakah sah atau tidak, harus diulang atau tidak, dan kaitah hukum
yang lain.
Adapun sikap Rasulullah saw.
terhadap shahabat yang menyatakan tidak menambah sedikitpun dari perbuatan
wajib, yang terkesan mengamini, hanyalah semata-mata untuk mempermudah, dan
untuk memberikan pelajaran kepada para da’i dan pendidik, senantiasa menanamkan
harapan dalam diri mad’u dan anak didiknya, memiliki sikap lapang dada dan
lembut. Untuk mengukuhkan bahwa Islam datang dengan segenap kemudahannya.
Di samping itu Rasulullah saw. juga
tahu persis bahwa seorang mukmin yang benar-benar bertakwa ketika beribadah
kepada Allah dan melakukan amalan yang diwajibkan baginya, dengan dada yang
terbuka dan perasaan tenang, akan terdorong untuk selalu beribadah dan
senantiasa menginginkan keridlaan Allah. Bahkan keridlaan ini ingin ia dapatkan
lebih banyak dan lebih banyak lagi. Ini tentu dilakukan dengan cara melakukan
amalan-amalan sunnah dan meninggalkan berbagai hal yang makruh. Terlebih
setelah mendengar hadits qudsi berikut:
“Tak henti-hentinya hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku
mencintainya. Ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang ia
gunakan untuk mendengar, menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat, menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk memegang dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku tentulah Aku akan memberi, jika ia
meminta perlindungan-Ku tentulah Aku beri perlindungan, dan jika ia berdoa
kepada-Ku tentu Aku kabulkan.” (HR Bukhari)
Demikianlah seorang muslim terus
meningkat menuju kesempurnaan. Hingga ia terlihat bagaikan prajurit yang
tangguh di medan perang pada siang hari dan akan menjadi rahib yang senantiasa
tenggelam dalam kekhusyukan ibadah pada malam hari. Allah berfirman: “Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya. Mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa
takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizky yang Kami berikan
kepada mereka.” (as-Sajdah: 16)
9. Halal dan haram hanya dari Allah
Sebagaimana yang telah kita pahami
bahwa pada prinsipnya keimanan adalah keyakinan terhadap halalnya sesuatu yang
telah dihalalkan Allah, dan haramnya sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah.
Jika ada seseorang yang beranggapan bahwa ia bisa mengharamkan apa yang telah
dihalalkan oleh syara’ atau sebaliknya, maka ia telah mencampuri hak Allah dan
dianggap keluar dari Islam, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang tersebut.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (al-Maaidah: 87)
Ayat ini turun karena ada sebagian
shahabat yang ingin mengharamkan untuk dirinya sebagian barang yang halal,
karena zuhud. Maka Rasulullah berkata kepada para shahabat yang bersangkutan,
“Akan tetapi saya shalat dan tidur, puasa dan juga berbuka serta menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka tidak termasuk golonganku.” (HR
Bukhari dan Muslim)
10. Bersumpah untuk Melakukan
Kebaikan.
Barangsiapa yang bersumpah untuk
melakukan suatu kebaikan, yang kebaikan tersebut semata-mata ketaatan, maka
hendaklah ia melakukannya. Allah berfirman: “Dan jagalah sumpahmu.”
(al-Maaidah: 89)
Namun barangsiapa yang bersumpah
untuk meninggalkan suatu kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang maka
ia wajib mencabut sumpahnya, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi saw. yang
artinya: “Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan maksiat, maka tidak ada
sumpah baginya.” (HR Abu Dawud)
Sedangkan orang yang bersumpah untuk
meninggalkan kebaikan, yang bukan wajib, maka sebaiknya ia membatalkan
sumpahnya karena pembatalan tersebut adalah lebih baik baginya. Rasulullahs
saw. bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah terhadap sesuatu, lalu ia mendapati
ada yang lebih baik dari sumpah itu, hendaklah ia memilih yang lebih baik dan
membatalkan sumpahnya.” (HR Muslim)
11. Seorang muslim hendaknya selalu
bertanya kepada orang yang lebih mengerti, tentang berbagai syariat yang belum
diketahui. Apa yang dilarang, apa yang diwajibkan, agar ia bisa melakukan
setiap perbuatan dengan tenang.
12. Para dai dan pendidik hendaknya
memberikan kemudahan terhadap orang-orang yang belajar kepadanya dan selalu
mempermudah.
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment