Eramuslim.com, Salah satu faktor yang membantu manusia memiliki sikap
sabar, khususnya terhadap musibah dan kesulitan, adalah pandangannya terhadap
dunia. Manusia yang memiliki pandangan yang jelas tentang dunia, maka ia akan
menjadi manusia yang sabar.
Hakekatnya dunia bukanlah surga
tempat kenikmatan dan juga bukan tempat yang abadi. Ia hanya berupa cobaan dan
pembebanan (taklif). Manusia diciptakan di dalamnya untuk diuji guna mempersiapkan
kehidupan yang abadi di akhirat. Siapa yang telah mengetahui watak kehidupan
dunia seperti ini, maka ia tidak akan dikejutkan oeh “malapetaka” dunia.
Sesuatu yang datang dari dalam kehidupannya, maka tak asing lagi bagi
kehidupannya.
Tetapi bagi orang-orang yang
memandang kehidupan dunia ini sebagai jalan yang penuh ditaburi bunga dan
aroma, maka apabila ia tergelincir sedikit saja, akan dirasakannya sangat berat
dan sulit, karena sebelumnya tidak pernah membayangkannya. Al-Qur’an
mengisyarakatkan bahwa kehidupan manusia ini diliputi oleh berbagai
kesengsaraan dan derita. Firman Allah :
“Sungguh Kami telah ciptakan manusia
berada dalam susah payah”. (QS : al-Balad : 4)
Selain itu juga diisyaratkan bahwa
watak kehidupan ini tidak pernah konstan dalam suatu keadaan. Hari membawa
kebaikan dan esok hari membawa kesengsaraan.
Allah Ta’ala berfirman :
“Jika kamu mendapat luka, maka
sesungguhnya kaum (kafir) itupun mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan
dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran)”. (QS : Ali Imran : 140)
Allah menciptakan kehidupan ini
dengan memasukkan antara kesenangan dan kesengsaraan, antara kecintaan dan
kebencian. Tidak ada kesenangan dan kenikmatan tanpa ada kesengsaraan dan
kepedihan, tidak ada kesehatan tanpa diganggu rasa sakit, atau kebahagiaan
tanpa kesedihan atau keamanan tanpa ketakutan. Sebab hal ini menyalahi kodrat
kehidupan dan peranan manusia di dalamnya. Kenyataan inilah yang disadari oleh
para filsuf, penyair dan pemikir sejak dahulu kala, sehingga banyak kita temui
ungkapan mereka yang mengenai hal ini.
Ali bin Ali Talib pernah ditanya
tentang dunia, kemudian menjawab, “Apa yang dapat aku katakan tentang dunia
yang awalnya tangis, tengahnya kesengsaraan, dan ujungnya ketidak abadian ?”
Di dalam kitab Zadul Ma’ad, Ibn
Qayyim menjelaskan tentang “obat” panas dan sedihnya musibah :
“Diantara penyembuhannya ialah,
hendaknya ia memadamkan api musibah itu dengan kesejukan meneledani orang-orang
yang mengalami musibah. Hendaknya diketahui bahwa di setiap lembah itu masih
terdapat orang-orang yang bahagia, tetapi hendaknya pula ia menoleh ke kanan
melihat kesengsaraan yang ada dan menoleh ke kiri melihat derita yang menimpa.
Kalau saja ia menjelejahi dunia, niscaya akan mendapati bahwa tidak ada orang
yang luput dari cobaan. Baik dengan kehilangan kekasih maupn menderita sesuatu
yang tidak disukai.
Sesungguhnya kebahagiaan dunia itu
laksana mimpi orang-orang yang sedang tidur seperti bayangan. Jika membuatnya
tertawa sejenak maka akan membuatnya bahagia sehari, maka akan membuatnya
sengsara setahun. Jika menghiburnya sebentar, maka akan menyedihkannya secara
berkepanjangan.
Berkata Ibn Mas’ud : “Setiap
kebahagiaan pasti mengandung kesedihan, tidak ada kebahagiaan tanpa kesedihan”.
Berkata Ibn Sirin : “Sesuatu yang
berwujud gelak tawa semata, niscaya pada akhirnya membawa tangis”.
Berkata Hindun binti Nu’man bin
al-Mundzir (seorang raja Arab), “Kami pernah menjadi orang yang paling
berwibawa dan paling kuat pemerintahannya, tetapi sebelum matahari terbenam kami
telah menjadi orang yang paling sedikit dan lemah. Sesungguhnya Allah tidak
memberikan kemegahan kepada sesuatu negeri kecuali dijadikan sebagai pelajaran
dan peringatan”.
Pada suatu hari Hindun pernah
ditanya tentang nasibnya, maka dia menjawab : “Sekarang tak seorangpun dari
bangsa Arab yang berharap kepada kami bahkan tak seorang pun dari bangsa Arab
yang mengasihi kami”.
Tak ada yang kekal di dunia ini, dan
yang kekal hanyalah Allah Azza Wa Jalla, setiap saat kehidupan ini berubah, dan
selalu berganti-ganti. Adakalahnya sedih dan adakalnya bergembira. Kehidupan
yang kekal hanyalah di akhirat. Janganlah terpedaya dengan kehidupan dunia yang
palsu ini. Wallahu’alam.
(Sumber
: Syaikh Yusuf al-Qaradhawi -
ihwansalafy.wordpress)
@SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment