Dunia usaha dan bisnis yang sukses sering diidentikkan
dengan gaya hidup mewah, glamor, cinta dunia yang berlebihan, dan ambisi yang
tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Bahkan, sebagian dari para ulama
menyifati dunia bisnis sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya
dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Hal ini dikarenakan bisnis yang sukses akan mendatangkan
keuntungan harta yang berlimpah, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah
(kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang
kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.
Bahkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara
khusus memperingatkan umat beliau dari besarnya bahaya fitnah harta dan
kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Tidaklah
dua ekor serigala kelaparan yang
dilepaskan kepada kambing lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap kambing
tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan
kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya”.
Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta
dan kedudukan akan memacu seseorang untuk terus mengejar dunia dan
menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya, karena umumnya, sifat
inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan selalu berbuat
kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Negeri
akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu
(surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Qashash: 83)
Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang muslim
yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya, utamanya kalangan yang
menggeluti dunia usaha dan bisnis, untuk selalu waspada dan introspeksi diri,
serta tidak terlalu percaya diri (bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal
ini, dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah
tersebut. Cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti
rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah Subhanahu
wa Ta'ala kepada hamba tersebut!!
Imam Ibnul Qayyim berkata, "Al-‘Arifun (orang-orang
yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan agama-Nya) telah
bersepakat (mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak
menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya
arti) al-khidzlan (berpalingnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita
(bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala)...”
Inilah makna doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca
pada waktu pagi dan petang, “…(Ya Allah,) jadikanlah baik semua urusanku dan
janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma)
sekejap mata.”
Tidakkah orang yang beriman mengkhawatirkan dirinya akan
kemungkinan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya sebagai akibat dari
fitnah harta. Padahal, hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
paling sempurna imannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya, sebagaimana doa beliau shallallahu
'alaihi wa sallam,
“Ya Allah, janganlah Engkau jadkn malptaka (kerusakan) yang
menimpa kami dalam agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan
kedudukan) sebagai target utama kami.
Fitnah
harta dan dunia
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah
(pada) umatku adalah harta.”
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan
adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan
pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar.” (QS. At-Taghabun:15)[8]
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku
takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian
adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian
sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum
kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana
mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga dunia itu
membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka."
Arti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
"… sehingga dunia itu membinasakan kalian" adalah dunia
menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan disebabkan oleh persaingan
yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya,
dan kesibukan dalam mengejarnya, sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan balasan di akhirat.
Dalam hadits ini terdapat nasihat berharga bagi orang yang
dibukakan baginya pintu-pintu harta, yaitu agar hendaknya dia bersikap waspada
dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam
mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang
berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar
dunia, karena secara tabiat asal, nafsu manusia tidak akan pernah merasa
puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun
berlimpahnya,kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan
hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah
(yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta)
yang ketiga.”
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar
harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apa pun untuk
tujuan tersebut. Akibatnya, tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk
mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar
bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang
mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan
dan penderitaan): kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang
berkepanjangan, dan penyesalan yang tiada akhirnya.
Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata,
“Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia
mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”
Memanfaatkan harta untuk meraih ketakwaan kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala
Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur-an dan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berisi
celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah memaksudkan bahwa celaan terhadap zat
harta dan dunia itu sendiri, tetapi maksudnya adalah kecintaan yang berlebihan
terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu
wa Ta'ala, dan tidak menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya,
sebagaimana firman-Nya,
“Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34)
Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi berkata, "Dunia (harta)
tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tetapi karena (dikhawatirkan) harta itu
menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tetapi karena
kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari
(beribadah kepada) Allah. Betapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak
menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta'ala,seperti
Nabi Sulaiman 'alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam) 'Utsman (bin 'Affan) radhiyallahu 'anhu dan
'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu. Serta, betapa banyak
orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada
Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya..."
Bahkan, banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki
harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala,
di antaranya:
1. Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala,
"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan
tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan), yang (pada saat itu)
hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. An-Nur: 37)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang
tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta
kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari
mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (AllahSubhanahu wa
Ta'ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan
mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan)
di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah lebih baik dan lebih
utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena sesuatu yang ada
di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal
abadi.”
Imam Al-Qurthubi berkata, "Dianjurkan bagi seorang
pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan
(usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba
waktu shalat fardhu, hendaknya dia (segera) meninggalkan
perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan
orang-orang (yang dipuji AllahSubhanahu wa Ta'ala) dalam ayat ini."
2. Sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, "Tidak ada hasad/iri (yang terpuji)
kecuali kepada dua orang: (yang pertama adalah) orang yang Allah anugerahkan
kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan
AllahSubhanahu wa Ta'ala), dan (yang kedua adalah) orang yang Allah
anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada
orang lain)."
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu, dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha)
pernah berkata, '(Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan)
pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).'” Anas
berkata, “Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun
berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku
yang terakhir beliau ucapkan, 'Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya,
serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya.'” Anas
berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan
sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.”
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan
keturunan yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak
melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya,
dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu sendiri menyebutkan ini
sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam An-Nawawi mencantumkan hadits
ini dalam bab “Keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu”.
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu 'alaihi
wa sallam, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa
mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala), dan kenikmatan yang abadi (di surga),
karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka
juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta
yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah,
sedangkan kami tidak memiliki harta.…" Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir
hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya."
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala
dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang
menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan di akhir
hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memuji
perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar --ketika menjelaskan hadits
ini-- berkata, "Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih
utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta'ala)
pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan
Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh
orang kaya."
Antara kaya dan miskin
Siapakah yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa
Ta'ala: orang kaya yang bersyukur dengan kekayaannya atau orang miskin yang
bersabar dengan kemiskinannya?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang
lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan ada yang lebih mengutamakan
orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga dinukil dari ucapan Imam
Ahmad bin Hambal.
Kedua pendapat ini masing-masing memiliki berbagai
argumentasi dari Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang
sama kuatnya, sehingga para ulama ahli tahqiq (yang terkenal
dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan salah satu di antara dua
pendapat tersebut, tetapi mereka memilih pendapat yang menggabungkan keduanya,
yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang paling besar
ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berdasarkan keumuman
makna firman-Nya,
"Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu." (QS. Al-Hujurat: 13)
Maka, orang kaya yang lebih besar rasa syukurnya lebih utama
dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya dan sebaliknya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah
dan dua murid beliau, yaitu Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah[28] dan Ibnu Muflih
Al-Maqdisi
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (ulama) zaman sekarang tentang
siapakah yang lebih utama: orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang
bersabar. Sebagian dari para ulama dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama
(orang kaya yang bersyukur lebih utama), sementara ulama dan ahli ibadah yang
lain menguatkan pendapat kedua (orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua
pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahmad.
Adapun para shahabat dan tabi'in radhiyallahu 'anhum,
maka tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari
dua golongan tersebut dibanding yang lain.
Sekelompok ulama lainnya berkata, "Masing-masing dari
keduanya tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain kecuali dengan
ketakwaan. Maka, yang paling kuat iman dan ketakwaannya itulah yang paling
utama. Kalau iman dan ketakwaan keduanya sama maka keutamaan keduanya pun
sama.”
Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari
Al-Qur-an dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan
(bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dicapai)
dengan keimanan dan ketakwaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya."
(QS. An-Nisa': 135)
Di antara para Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para shahabat radhiyallahu 'anhum yang terdahulu dan pertama
(masuk Islam), ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah Subhanahu
wa Ta'ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah
mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya
(di sisi AllahSubhanahu wa Ta'ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan
orang-orang kaya (setelah mereka).
Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu
menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam
semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, dan pada diri (dua shahabat) Abu Bakar radhiyallahu
'anhu dan ‘Umar radhiyallahu 'anhu.
Akan tetapi, terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam
keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika
mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia
dan penyakit lebih baik bagi yang lain...”
Teladan sempurna dari ulama salaf
Para ulama salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua
kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan
harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di
antara para ulama salaf yang terkenal dengan sifat ini adalah:
Pertama, shahabat yang mulia, 'Utsman bin 'Affan bin Abil
'Ash Al-Umawi radhiyallahu 'anhu (wafat tahun 35 H), salah
seorang dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan sepuluh orang shahabat
yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau radhiyallahu 'anhu sangat terkenal dengan kekayaan dan
kedermawanan.
Beliaulah yang membeli sumur Rumah dari pemiliknya yang
seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullahshallallahu
'alaihi wa sallam menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga
kelak.
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memperluas
Mesjid Nabawi, 'Utsman radhiyallahu 'anhu menyumbangkan
hartanya untuk membeli tanah perluasan mesjid tersebut.
Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan Al-'Usrah dalam
perang Tabuk, yaitu sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Sehingga setelah
itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda berkali-kali,
"Tidak akan merugikan 'Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari
ini."
Kedua, shahabat yang mulia, 'Abdurrahman bin 'Auf
Al-Qurasyi radhiyallahu 'anhu (wafat tahun 32 H), salah
seorang dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan juga merupakan shahabat yang sangat terkenal
dengan kekayaan dan kedermawanan.
Imam Az-Zuhri berkata, "Di masa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, 'Abdurrahman bin 'Auf pernah bersedekah dengan separuh
dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah
(lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau
menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di
jalan Allah. Setelah itu, beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor
unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Sebagian besar hasil kekayaan
beliau (diperolehnya) dari (usaha) perniagan.
Ketiga, 'Ali bin Husein bin 'Ali bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Madani
(wafat tahun 94 H), putra dari cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang
terkenal, Husein bin 'Ali radhiyallahu 'anhu dan Imam besar
dari kalangan Tabi’in (murid para shahabat radhiyallahu
'anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Beliau sangat terkenal
dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai zainul 'abidin (perhiasan
bagi para ahli ibadah).
Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah
banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu
beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau
bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau
sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada
orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan, semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus
keluarga miskin di Madinah. Sampai-sampai, orang menyangka beliau kikir dan suka
menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau.
Keempat, Yunus bin 'Ubaid bin Dinar Al-Bashri (wafat tahun
139 H), imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan
hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati
dalam masalah halal dan haram).
Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan
selalu menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual beli.
Bahkan, karena kejujurannya, beliau pernah mengembalikan uang seorang pembeli
yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi, karena waktu itu yang
menjualnya adalah keponakan beliau. Bagitu pula sebaliknya, jika beliau membeli
barang dari seseorang, maka beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai,
meskipun orang tersebut pada awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih
murah.
Diriwayatkan dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga
kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal, yang mana sesuai
kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik maka harga kain di Bashrah
pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin 'Ubaid segera membeli
sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran biasa.
Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada penjual
tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah anu?”
Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tau tentu aku tidak akan
menjualnya kepadamu.” Maka Yunus bin 'Ubaid berkata, “(Kalau begitu) kembalikan
uangku padamu dan aku akan kembalikan barangmu.”
Kelima, 'Abdurrahman bin Aban bin 'Utsman bin 'Affan
Al-Umawi Al-Madani, cucu shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang
mulia, 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu, imam besar dari
kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli ibadah dan
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Musa bin Muhammad At-Taimi memuji beliau dengan mengatakan,
"Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak menghimpun
agama, kerajaan (kekuasaan), dan kemuliaan (nasab) melebihi 'Abdurrahman bin
Aban.
Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian
memberikan pakaian untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada
mereka, "Kalian (semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allah.
Aku menjadikan kalian sebagai (salah satu sebab) penolongku (menghadapi
dasyatnya) sakaratul maut."
Beliau sangat rajin beribadah, sehingga 'Ali bin 'Abdullah
bin 'Abbas mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaikan.
Keenam, Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat tahun 181
H), imam besar yang ternama dari kalangan atba’ut tabi’in yang
sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah seorang yang
terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki
ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di
jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala), terkumpul padanya (semua)
sifat-sifat yang baik.”
Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam Al-Fudhail bin
'Iyadh pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memiliki perniagaan besar
dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke “tanah haram”
(Mekkah). Maka, Abdullah bin Al-Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan
itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain),
memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan
kepada Allah.”
Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat
terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta
yang sangat besar setiap tahun,serta membiayai semua perbekalan orang-orang
yang menunaikan ibadah haji bersama beliau.
Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah
menanggung biaya hidup beberapa imam besar ahli hadits di zamannya, seperti
Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh,agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan
hadits Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat. Beliau
berkata, "Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama
ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran. Mereka (menyibukkan diri
dengan) mempelajari hadits-hadits Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam dengan
benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada
mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk
membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup)
mereka maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tetapi kalau
kami mencukupi (biaya hidup) mereka maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi)
menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam. Aku tidak mengetahui -setelah kenabian-, tingkatan/kedudukan yang
lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam)."
Jadilah pengusaha yang zuhud
Menjadi pengusaha bukanlah dengan harus menjadi miskin dan
menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi, bersikap zuhud adalah
dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala, tanpa adanya keterikatan hati dan
kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata
lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang
panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya
untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam
Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang
sebenarnya)?” Beliau berkata, "(Maknanya adalah) tidak panjang
angan-angan, (yaitu) ketika seseorang berada di waktu pagi maka dia berkata, “Aku
(khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi."
Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah
dengan mengharamkan yang halal dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan
tetapi, zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan)
di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu
musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala
dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang
itu tetap ada padamu.”
Sifat inilah yang dimiliki dengan sempurna oleh para
shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menjadikan mereka lebih mulia dan utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala
dibandingkan orang-orang yang datang setelah mereka. Ibnu Mas'udradhiyallahu
'anhu berkata, "Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan)
shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para
shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka
lebih baik (lebih utama di sisi AllahSubhanahu wa Ta'ala) daripada
kalian." Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu
Abdirrahman?” Ibnu Mas'udradhiyallahu 'anhu berkata, "Karena
mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada
akhirat."
Penutup
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini,
"Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya
maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak
pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Serta, barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya
maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa
cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam
keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada
Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha
sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan
dunia dan cinta kepada balasan yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat
baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
doa.
(Sumber : tulisan Ustadz Abdullah bin Taslim al Buthoni –
pengusahamuslim.com)
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment