Seorang mukmin hendaknya
menghiasi diriya dengn adab dan akhlak yang mulia. Karena akhlak yang mulia
pada hakekatnya merupakan hasil dari keimanan yang sempurna.
Rasulullah saw bersabda,
“Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling indah akhlaknya.” (HR Abu Daud
dan at Titmidzi).
Di antara sekian banyak
akhlak yang mulia, sifat malu merupakan salah satu dab yang akan membuahkan
banyak kebaikan pada diri seorang mukmin. Bahkan Rasulullah saw telah bersabda,
“Sifat malu hanya membwa kebaikan”. (HR Bukhari-Muslim)
Oleh karena itu, ketika
Rasulullah saw melewati seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang sedang
menasihati saudaranya untuk memiliki sifat malu, Rasulullah saw bersabda,
“Biarkanlah dia karena sesungguhnya sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR
Bukhari-Muslim)
Dalam hadits lain
Rasulullah saw telah menyatakan,”Iman itu ada 70 bagian. Yang paling utama
adalah ucapan Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah salah satu bagian keimanan.” (HR
Bukhari-Muslim)
Hakikat
Sifat Malu
Imam an-Nawawi ra dalam
Riyadhush Shalihin berkata, “Para ulama berkata, hakikat malu adalah sebuah
perangai yang mendororng (seseorang) untuk meninggalkan keburukan dan mencegah
dari sikap peremehan terhadap hak siapa saja yang memiliki hak.”
Dengan demikian, seeorang
yang lancang melakukan keburukan atau meninggalkan kewajiban-kewajibannya, pada
hakikatnya dia tidak memiliki rasa malu ketika itu. Rasulullah saw bersabda, “Di
antara apa yang didapati oleh manusia dari perkataan kenabian terdahulu adalah
(perkataan), “Jika kamu tidak malu maka lakukanlah sesukamu.” (HR Bukhari)
Adapun rasa malu yang
menghalangi seseorang dari kebaikan atau yang menjadi sebab seseorang meninggalkan
perkara yang disyariatkan, maka ini bukanlah rasa malu yang disyariatkan,
bahkan itu hakikatnya adalah kelemahan dan kerendahan jiwa. Misalnya perasaan
malu yang menghalangi seseorang dari menuntut ilmu, sebagaimana yang dikatakan
oleh Mujahid ra. “Tidak akan bisa mempelajari ilmu orang yang malu-malu atau
orang yang sombong.” (HR Bukhari).
Maka yang dimaksud
malu-malu disini bukanlah sifat malu yang terpuji yang disyariatkan, akan
tetapi maksudnya adalah kelemahan dan kerendahan jiwa sehingga tiak tergerak
untuk mencari kebaikan.
Sifat
Malu Yang Paling Agung
Kemudian ketahuilah bahwa
seagung-agungnya sifat malu adalah malunya seorang hamba kepada Allah swt.
Karena ketika seorng hamba telah memiliki sifat malu kepada Allah, maka sifat
malu ini benar-benar akan membimbingnya untuk bertakwa kepada Allah.
Dari Ibnu Mas’ud ra, dia
berkata, :
Rasulullah saw bersabda,
“Malullah kalian terhada Allah dengan sebenar-benar rasa malu.”
Kami (para sahabat)
berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami memilik rasa malu alhamdulillah.”
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak demikian, akan tetepi malu terhadap Allah dengan sebenar-benar rasa malu
adalah kamu menjaga kepala dan apa yang ada padanya, kamu menjaga perut dan apa
saja yang ada di sekitarnya, dan kamu mengingat kematian dan kehancuran.
Barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia.maka
barangsiapa melakukan itu semua, berarti dia telah merasa malu terhadap Allah
dengan sebenar-benar rasa malu.”
Maksud menjaga kapala
adalah menjaganya agar tidak digunakan pada selain ketaatan kepada Allah,
seperti untuk sujud kepada selain Allah, untuk shalat dengan riya dan
sebagainya. Juga menjaga apa yang ada padanya, seperti lisan, mata, telinga,
dari hal-hal yang diharamkan.
Maksud menjaga perut adalah
menjaganya dari makanan-makanan yang haram. Sedangkan apa yang ada pada sekitarnya, maksudnya
adalah apa saja yang bersambung dengan perut, seperti kemaluan, kedua kaki,
kedua tangan dan hati. Maka anggota tubuh ini dijaga agar tidak bermaksiat kepada
Allah, akan tetapi digunakan dalam keridhaan Allah.
Dan untuk menumbuhkan
rasa malu kepada Allah, paling tidak ada tiga usaha yang bisa kita lakukan :
Pertama, mengingat akan besar dan banyaknya
nikmat Allah yang telah kita peroleh.
Kedua, menyadari akan kekurangan diri kita
dalam memenuhi hak-hak Allah.
Ketiga, meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi
gerak gerik kita dan tidak ada satu keadaan pun yang luput dari pengawasan
Allah.
Maka tidakkah kita malu
bermaksiat kepada-Nya padahal Dialah pemberi semua keperluan kita, tidakkah
kita malu sedangkan kita pasti banyak kekurangan terhadap hak Allah, tidakkah
kita malu padahal Allah senantiasa mengawasi kita ?
Hanyalah Allah yang
memberikan taufiq.
(Sumber : Majalah Majlis)
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment