Monday, 11 May 2015





Seorang mukmin hendaknya menghiasi diriya dengn adab dan akhlak yang mulia. Karena akhlak yang mulia pada hakekatnya merupakan hasil dari keimanan yang sempurna.
Rasulullah saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling indah akhlaknya.” (HR Abu Daud dan at Titmidzi).

Di antara sekian banyak akhlak yang mulia, sifat malu merupakan salah satu dab yang akan membuahkan banyak kebaikan pada diri seorang mukmin. Bahkan Rasulullah saw telah bersabda, “Sifat malu hanya membwa kebaikan”. (HR Bukhari-Muslim)

Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw melewati seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang sedang menasihati saudaranya untuk memiliki sifat malu, Rasulullah saw bersabda, “Biarkanlah dia karena sesungguhnya sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah saw telah menyatakan,”Iman itu ada 70 bagian. Yang paling utama adalah ucapan Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah salah satu bagian keimanan.” (HR Bukhari-Muslim)

Hakikat Sifat Malu

Imam an-Nawawi ra dalam Riyadhush Shalihin berkata, “Para ulama berkata, hakikat malu adalah sebuah perangai yang mendororng (seseorang) untuk meninggalkan keburukan dan mencegah dari sikap peremehan terhadap hak siapa saja yang memiliki hak.”

Dengan demikian, seeorang yang lancang melakukan keburukan atau meninggalkan kewajiban-kewajibannya, pada hakikatnya dia tidak memiliki rasa malu ketika itu. Rasulullah saw bersabda, “Di antara apa yang didapati oleh manusia dari perkataan kenabian terdahulu adalah (perkataan), “Jika kamu tidak malu maka lakukanlah sesukamu.” (HR Bukhari)

Adapun rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan atau yang menjadi sebab seseorang meninggalkan perkara yang disyariatkan, maka ini bukanlah rasa malu yang disyariatkan, bahkan itu hakikatnya adalah kelemahan dan kerendahan jiwa. Misalnya perasaan malu yang menghalangi seseorang dari menuntut ilmu, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid ra. “Tidak akan bisa mempelajari ilmu orang yang malu-malu atau orang yang sombong.” (HR Bukhari).
Maka yang dimaksud malu-malu disini bukanlah sifat malu yang terpuji yang disyariatkan, akan tetapi maksudnya adalah kelemahan dan kerendahan jiwa sehingga tiak tergerak untuk mencari kebaikan.

Sifat Malu Yang Paling Agung

Kemudian ketahuilah bahwa seagung-agungnya sifat malu adalah malunya seorang hamba kepada Allah swt. Karena ketika seorng hamba telah memiliki sifat malu kepada Allah, maka sifat malu ini benar-benar akan membimbingnya untuk bertakwa kepada Allah.

Dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, :
Rasulullah saw bersabda, “Malullah kalian terhada Allah dengan sebenar-benar rasa malu.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami memilik rasa malu alhamdulillah.”
Rasulullah saw bersabda, “Tidak demikian, akan tetepi malu terhadap Allah dengan sebenar-benar rasa malu adalah kamu menjaga kepala dan apa yang ada padanya, kamu menjaga perut dan apa saja yang ada di sekitarnya, dan kamu mengingat kematian dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia.maka barangsiapa melakukan itu semua, berarti dia telah merasa malu terhadap Allah dengan sebenar-benar rasa malu.”

Maksud menjaga kapala adalah menjaganya agar tidak digunakan pada selain ketaatan kepada Allah, seperti untuk sujud kepada selain Allah, untuk shalat dengan riya dan sebagainya. Juga menjaga apa yang ada padanya, seperti lisan, mata, telinga, dari hal-hal yang diharamkan.

Maksud menjaga perut adalah menjaganya dari makanan-makanan yang haram. Sedangkan  apa yang ada pada sekitarnya, maksudnya adalah apa saja yang bersambung dengan perut, seperti kemaluan, kedua kaki, kedua tangan dan hati. Maka anggota tubuh ini dijaga agar tidak bermaksiat kepada Allah, akan tetapi digunakan dalam keridhaan Allah.

Dan untuk menumbuhkan rasa malu kepada Allah, paling tidak ada tiga usaha yang bisa kita lakukan :
Pertama, mengingat akan besar dan banyaknya nikmat Allah yang telah kita peroleh.
Kedua, menyadari akan kekurangan diri kita dalam memenuhi hak-hak Allah.
Ketiga, meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak gerik kita dan tidak ada satu keadaan pun yang luput dari pengawasan Allah.

Maka tidakkah kita malu bermaksiat kepada-Nya padahal Dialah pemberi semua keperluan kita, tidakkah kita malu sedangkan kita pasti banyak kekurangan terhadap hak Allah, tidakkah kita malu padahal Allah senantiasa mengawasi kita ?

Hanyalah Allah yang memberikan taufiq.

(Sumber : Majalah Majlis)
#SPUBerbagi

0 comments:

Post a Comment