Lembaga
pendidikan hanya sebuah sarana dan sekolah hanya sekadar tempat singgah anak
untuk menjalani persiapan menuju jenjang pendidikan berikutnya. Namun, sangat
disayangkan sebagian lembaga pendidikan ternyata lebih banyak mewarnai perilaku
dan tabiat buruk anak. Oleh karena itu, bila sukses dunia-akhirat adalah
pertimbangan utama, maka orangtua harus pandai-pandai memilih lembaga
pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam.
Banyak orang awam
dan berkantong tebal salah dalam memilih lembaga pendidikan. Alih-alih
mempertimbangkan kebersihan akidah dan keluhuran akhlak bagi anak-anaknya,
mereka hanya berorientasi pada keberhasilan di dunia. Alhasil, mereka hanya
memilih sekolah favorit yang ternama dan bergengsi walaupun harus mengeluarkan
biaya yang sangat besar. Sekolah mahal dipakai sebagai alat pengangkat prestise
orangtua, sekadar alat untuk menunjukkan bahwa orangtua mampu menyekolahkan
anak di sekolah pilihan orang kaya. Bila sudah begini, janganlah terlalu
berharap memiliki anak shalih.
Berikut beberapa
contoh kesalahan orang tua dalam memberikan pendidikan buat anak-anaknya:
1. Salah Tujuan
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.
Sayangnya, saat
ini justru sekolah yang melulu berorientasi pada keberhasilan dunialah yang
menjadi prioritas banyak orang awam. Mereka tak memperhatikan apakah terjadi
ikhtilat atau tidak. Sehingga kemaksiatan mudah tercipta di sekolah tersebut,
karena landasan agama dicampakkan, sementara dunia menjadi tujuan. Lihatlah, di
sekolah-sekolah yang ikhtilat, banyak terjadi kasus zina melalui budaya
pacaran, pergaulan bebas, dan asmara buta sehingga kekejian merebak dan
perzinahan merajalela.
2. Salah
Sekolahan
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.
Harus diakui,
saat ini masih ada sekolah Islam yang di situ bercampur-baur antara pelajar
laki-laki dengan perempuan, atau kurang memperhatikan sistem pengajarannya,
sehingga bercampur antara pelajaran yang syar’i dan bid’ah, bahkan antara
ajaran Islam dan ajaran kafir. Alhasil, pemahaman dan efek buruklah yang
diterima sang anak. Kelak, ia pun secara sistematis akan tumbuh menjadi
generasi dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang menyimpang dari syariat
Islam.
3. Salah Teladan
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.
4. Salah Metode
Pendidikan
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.
5. Motivasi yang
Kurang Tepat
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendorong anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan. Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendorong anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan. Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.
Alhasil, bila dia
tidak bisa berprestasi, maka dia akan menjadi orang yang frustasi dan malas
belajar, sedangkan pada anak yang didorong agar tidak tersaingi oleh
teman-temannya akan timbul sifat angkuh, sombong dan egois. Dan anak yang
dimotivasi agar bangga dengan prestasi yang dicapainya, tumbuh menjadi anak
yang tidak pandai bersyukur kepada Allah; ia hanya bersemangat menuntut ilmu,
tapi kehilangan kendali bila gagal.
6. Membatasi
Kreativitas Anak
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya.
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya.
7. Membatasi
Pergaulan
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.
Sikap orangtua
seperti di atas membuat anak menjadi pemalu dan tidak pandai bergaul, atau akan
membuat anak mudah merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel
dengannya.
Orangtua
bijaksana akan mengawasi pergaulan anak-anaknya, tanpa terlalu membatasi tapi
juga tidak membiarkan anak bergaul bebas. Orangtua harus selalu mengingatkan
dan memantau agar anak bergaul dengan orang-orang shalih, yang paham As-Sunnah,
rajin beribadah dan berakhlak mulia serta teman-teman yang bisa memotivasinya
menjadi orang yang bermanfaat untuk diri, agama, orang tua dan orang di
sekitarnya.
8. Tidak Disiplin
dan Kurang Tertib
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.
Setiap orangtua
atau pendidik hendaknya membuatkan jadwal rutin harian, yang berkaitan dengan
ibadah, tugas harian maupun tugas sekolah, dan orangtua harus senantiasa
mengontrol dan mengawasinya jangan sampai ada yang terlewatkan.
9. Hanya
Pendidikan Formal
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.
Dengan kata lain,
setiap anak harus membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan
dengan realitas hidup, perkembangan teknologi, bisnis, informasi, komunikasi,
situasi terkini, dunia tumbuhan dan binatang. Dan untuk itu, orangtua haruslah
aktif dan selektif dalam memilihkan bacaan, yaitu memilihkan bacaan yang
bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karenanya, pendidikan
non formal, terutama pendidikan agama mutlak diperlukan, karena dengan
pendidikan inilah si anak akan dapat menyaring, mana ilmu teknologi, bisnis,
komunikasi, dan segala hal yang bermanfaat atau justru berpotensi merusak
akidah maupun akhlak seseorang.
10. Kurang
Mengenalkan Tanggung Jawab
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.
Orangtua harus
mengenalkan kepada anak-anaknya tanggung jawab kepada agama, diri, dan
lingkungannya. Bahkan anak harus dikenalkan pada kewajiban zakat, infak dan
sedekah, menyantuni anak yatim dan fakir-miskin agar tumbuh rasa tanggung jawab
dan sensitivitasnya pada agama dan lingkungan, baik lingkungan rumah maupun
sekolah.
11. Khawatir yang
Berlebihan
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.
Ketakutan seperti
itu hanya akan membuat hidup terbebani, tidak percaya dengan takdir, dan
mengurangi ketawakalannya kepada Allah. Yang ada nanti hanya perasaan tidak
tenang dan khawatir terhadap nasib anaknya. Inilah yang kadang membuat orangtua
tidak tega saat melepas anaknya menempuh pendidikan boarding school (pondok) di
pesantren. Padahal, setiap orangtua harus menyadari bahwa suatu saat nanti anak
akan berpisah dengannya, baik untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan untuk
menghidupi keluarganya setelah menikah kelak.
12. Kurang Sabar
dalam Menerima Hasil
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”
Padahal, kita
semua sadar bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kecerdasan dan
kemampuan yang berbeda kepada setiap hamba-Nya. Seharusnya orang tua bersikap
bijak. Kewajiban orangtua hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan dan
membina anak-anaknya, sedangkan hasilnya, Allah Maha Adil dan Maha Tahu apa
yang tetbaik bagi hamba-Nya. Jadi, kenapa orangtua harus kecewa dengan hasil
yang tidak sesuai keinginannya? Bukankah lebih baik mengutamakan kesabaran dan
keistikomahan dalam mendidik dan mengarahkan anak, daripada terpaku pada hasil akhirnya?
13. Curiga
Berlebihan
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.
Oleh karena itu,
orang tua harus berhati-hati dalam menilai anak-anaknya. Jangan mudah curiga
dan menuduh anak dengan sesuatu tanpa alasan dan bukti hanya karena kurang
cinta atau cemburu. Orang tua juga tidak boleh meremehkan kemampuan dan
kelebihan anak dengan menganggapnya masih terlalu kecil.
Di pihak lain,
sang anak pun tak boleh mudah memvonis orangtuanya tidak sayang dan
membencinya. Seharusnya seorang anak bersabar menghadapi sikap orang tua yang
kurang berkenan dan sebaiknya mencari informasi yang sebenarnya kenapa
orangtuanya bersikap demikian, dan menghilangkan dendam kepada orangtua karena
sikapnya tersebut. Sebab, dendam yang dibiarkan bisa memutus hubungan
silaturahim. Maka, pupuklah sikap saling percaya, tumbuhkan empati, dan sikap
terbuka dalam menghadapi setiap masalah.
14. Menjauhkan
Anak dari Orang Shalih
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.
Wahai anak shalih
yang mendambakan surga, jangan biarkan dirimu bergaul dengan orang buruk
berhati serigala, orang munafik, orang fasik dan ahli bid’ah perusak agama.
Ingat, orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang baik dan orang yang buruk
akan berkumpul dengan orang yang buruk. Dan pada Hari Kiamat kelak, seseorang
dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.
(Sumber : Untukmu Anak Shalih, Ust. Zaenal Abidin bin
Syamsudin, Lc – madinatulquran.or.id)
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment