“Umar kalau sudah besar mau jadi apa?”
“Jadi dokter,” jawab Umar seorang bocah
berusia lima tahun.
Ya,
sejak kecil kita memang sudah diajari untuk memiliki cita-cita semacam dokter,
guru, insinyur dan pekerjaan formal lainnya, profesi-profesi yang menurut
Robert Kiyosaki, termasuk “self employee”.
Jarang
orangtua yang mengajarkan, mengarahkan dan membimbing anaknya untuk menjadi
pengusaha.
Mulai
masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali
prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif. Sejak kecil kita selalu
dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya tujuan yang harus
dicapai. Orangtua kita menginginkan agar anakya bisa menjadi pegawai. Target
yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestige lebih
diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang lebih cenderung memperhatikan
gengsi dibandingkan kerja keras untu berprestasi.
Lebih-lebih
dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui kehidupan manusia.
Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang
hanya mengejar kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun
mempengaruhi gairah kerja setiap orang. Unit yang basah dirasa semakin penting dibanding
dengan unit yang kering. Orang akhirnya akan selalu memperhatikan materi
melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus ditangani.
Di
satu sisi, sistem pendidikan kita kurang membantu bertumbuhnya inisiatif,
dinamika ataupun kreativitas anak didik. Murid secara pasif hanya mendengarkan
teori yang dikemukakan oleh sang guru. Sifat pelajaran relative banyak hafalan.
Murid kurang dibekali dengan pemberian pengertian melalui gambaran kenyataan
hidup yanga ada.
Bahkan
penyediaan bahan bacaan yang terbataskurang membantu peningkatan pengetahuan
anak didik. Padahal, pendidikan formal saja tidak cukup sebagai bekal hidup di
masyarakat yang telah banyak dipengaruhi unsur-unsur materialisme dan kemajuan
teknologi. Tanpa bekal yang kuat, orang akan mudah mengagungkan materi di atas
segala-galanya. Kehidupan materialisme ini jelas lebih banyak berpengaruh
negative terhadap perilaku manusia.
Posisi
dan peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan non-formal terpenting bagi
pertumbuhan personalitas serta kematangan pola berfikir anak, kurang berperan
secara maksimal. Akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri ataupun
keyakinan hidup si anak tidak bisa bertumbuh stabil. Tanpa bekal iman dan
kepribadian di rumah secara mantap, anak-anak akan mudah diguncang oleh
pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang ambing karena memang belum memiliki
prinsip hidup yang mantap.
Di
sisi lain, banyak orang merasa kalau sudah bekerja dan berkeluarga, sasaran
utamanya alah mencari uang saja. Lain tidak. Segala upaya difokuskan untuk itu.
Sejalan dengan upaya tersebut, setiap orang minimal akan berusaha untuk bisa
meraih kedudukan, posisi ataupu status demi prestige dan gengsinya dalam
kehidupan masyarakat. Berkembanglah praktek-praktek yang membawa ekses negative
bagi pola manajemen serta mekanisme organisasi.
Kenyataan
ini diperburuk dengan semakin kompleksnya perkembangan organisasi. Dalam
organisasi yang membengkak timbul berbagai ekses yang cukup menghambat
pertumbuhan manajemen. Antara lain, timbulnya klik dan koncoisme. Sistem
manajemen atau sistem operasional akan kurang bermakna karena aktifitas
organisasi sepenuhnya berkiblat kepada selera pucuk pimpinan. Dan anehnya kita
dengan rela hati menyerahkan masa depan kita kepada keadaan seperti itu….?
(Sumber : Membangkitkan Entrepreneur Power
– Valentino Dinsi)
#SPUBerbagi
0 comments:
Post a Comment