Monday, 6 April 2015




“Umar kalau sudah besar mau jadi apa?”
“Jadi dokter,” jawab Umar seorang bocah berusia lima tahun.

Ya, sejak kecil kita memang sudah diajari untuk memiliki cita-cita semacam dokter, guru, insinyur dan pekerjaan formal lainnya, profesi-profesi yang menurut Robert Kiyosaki, termasuk “self employee”.

Jarang orangtua yang mengajarkan, mengarahkan dan membimbing anaknya untuk menjadi pengusaha.
Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif. Sejak kecil kita selalu dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Orangtua kita menginginkan agar anakya bisa menjadi pegawai. Target yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestige lebih diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang lebih cenderung memperhatikan gengsi dibandingkan kerja keras untu berprestasi.

Lebih-lebih dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui kehidupan manusia. Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang hanya mengejar kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun mempengaruhi gairah kerja setiap orang. Unit yang basah dirasa semakin penting dibanding dengan unit yang kering. Orang akhirnya akan selalu memperhatikan materi melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus ditangani.

Di satu sisi, sistem pendidikan kita kurang membantu bertumbuhnya inisiatif, dinamika ataupun kreativitas anak didik. Murid secara pasif hanya mendengarkan teori yang dikemukakan oleh sang guru. Sifat pelajaran relative banyak hafalan. Murid kurang dibekali dengan pemberian pengertian melalui gambaran kenyataan hidup yanga ada.

Bahkan penyediaan bahan bacaan yang terbataskurang membantu peningkatan pengetahuan anak didik. Padahal, pendidikan formal saja tidak cukup sebagai bekal hidup di masyarakat yang telah banyak dipengaruhi unsur-unsur materialisme dan kemajuan teknologi. Tanpa bekal yang kuat, orang akan mudah mengagungkan materi di atas segala-galanya. Kehidupan materialisme ini jelas lebih banyak berpengaruh negative terhadap perilaku manusia.

Posisi dan peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan non-formal terpenting bagi pertumbuhan personalitas serta kematangan pola berfikir anak, kurang berperan secara maksimal. Akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri ataupun keyakinan hidup si anak tidak bisa bertumbuh stabil. Tanpa bekal iman dan kepribadian di rumah secara mantap, anak-anak akan mudah diguncang oleh pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang ambing karena memang belum memiliki prinsip hidup yang mantap.

Di sisi lain, banyak orang merasa kalau sudah bekerja dan berkeluarga, sasaran utamanya alah mencari uang saja. Lain tidak. Segala upaya difokuskan untuk itu. Sejalan dengan upaya tersebut, setiap orang minimal akan berusaha untuk bisa meraih kedudukan, posisi ataupu status demi prestige dan gengsinya dalam kehidupan masyarakat. Berkembanglah praktek-praktek yang membawa ekses negative bagi pola manajemen serta mekanisme organisasi.

Kenyataan ini diperburuk dengan semakin kompleksnya perkembangan organisasi. Dalam organisasi yang membengkak timbul berbagai ekses yang cukup menghambat pertumbuhan manajemen. Antara lain, timbulnya klik dan koncoisme. Sistem manajemen atau sistem operasional akan kurang bermakna karena aktifitas organisasi sepenuhnya berkiblat kepada selera pucuk pimpinan. Dan anehnya kita dengan rela hati menyerahkan masa depan kita kepada keadaan seperti itu….?

(Sumber : Membangkitkan Entrepreneur Power – Valentino Dinsi)
#SPUBerbagi

0 comments:

Post a Comment